recent posts
Jika Anda ingin men-download trailer ini (tanpa tambahan apapun di browser Anda) silakan klik di sini.
Jumat, 19 Desember 2008
Selasa, 02 Desember 2008
Tinjauan Psikomemoar
DIVIDED MINDS
PSIKOMEMOAR DUA WANITA KEMBAR
Judul : Divided Minds: Twin Sisters and Their Journey Through Schizophrenia.
Penulis : Pamela Spiro Wagner & Carolyn S. Spiro, M.D.
Penerbit : St. Martin Press (New York).
Tahun terbit : 2005.
Tebal : 318 halaman
Harga : US$24,95
Psikomemoar Divided Minds ini menuturkan perjalanan psikologis dua orang kembar identik yang berbeda semenjak kecil, Pamela dan Carolyn. Secara fasih, masing-masing menuturkan pengalaman hidupnya melewati lika-liku kehidupan, seringkali dengan amat berbeda. Perjuangan dua orang untuk membentuk identitas yang unik, dengan atau tanpa yang lainnya. Di atas semua rasa iri dan persaingan terdapat cinta yang dapat mengatasi semua perbedaan yang hanya dapat dimengerti oleh sepasang saudara kembar.
Mereka berbeda secara psikis, Pamela didiagnosis menderita skizofrenia dan Carolyn pada masa dewasanya menjadi psikiater. Mereka berdua mengerti gangguan jiwa ini. Pamela telah mengalaminya sejak usia dini. Sementara Carolyn, sebagai psikiater dan orang yang mencintainya, banyak melihat penderitaan mental saudaranya itu. Buku unik ini adalah potret perjuangan mereka berdua yang kehidupannya banyak dipengaruhi oleh gangguan jiwa tersebut.
Pamela dianugerahi segalanya. Ia membayang-bayangi adiknya di sepanjang usia kanak-kanak. Mereka berdua tahu dan mengerti hal itu. Ketika memasuki usia remaja, gejala penyakit Pamela bertambah jelas. Ia menuliskan tanda-tanda tersebut pada buku hariannya. Bersama dengan perjalanan penyakitnya yang bertambah parah, ia berbalik menjadi kembar yang dikuasai, dan segalanya perlahan-lahan mulai berubah baginya. Mereka berdua lulus kuliah di Brown University tapi prestasi akademik dan kemampuan sosial semakin menjadi tantangan bagi Pamela. Perpecahan terbentuk dalam hubungan mereka, dan kehidupan sehari-hari semakin ditempa oleh perjalanan penyakit Pamela. Ia akhirnya kuliah di fakultas kedokteran tetapi keluar pada tahun kedua saat gangguan skizofrenia menguasainya. Isolasi, efek samping, halusinasi, dan pikiran bunuh diri (suicidal thoughts), menuntun Pamela kepada keadaan mental yang rapuh. Ia pun harus berkali-kali dirawat di rumah sakit jiwa. Tetapi karakternya yang kuat telah membawanya meraih penghargaan dalam bidang puisi dan penulisan, sebuah potensi dan kemampuan yang tidak berhasil dirampas oleh skizofrenia.
Carolyn, dikenal sebagai Lynnie di awal kehidupannya. Ia tak lagi menjadi "yang kedua" setelah Pamela jatuh sakit. Ia mulus meniti karirnya sebagai psikiater, dan menikah serta punya anak. Tapi saudaranya itu tidaklah ia tinggalkan sejak pada suatu hari ia menerima telepon dari bagian perawatan rumah sakit yang memberitahukan bahwa Pamela semakin parah. Profesinya sebagai psikiater semakin menemukan makna saat ia kini punya penderita yang harus ditangani dalam keluarganya. Walaupun penikahannya berakhir dan dirinya menghadapi konflik pribadi, Carolyn, adalah figur yang tetap menjadi harapan bagi Pamela, bahkan saat pengobatan tidak berhasil.
Baik sendiri ataupun bersama-sama, Carolyn dan Pamela adalah dua wanita mengagumkan yang menggoreskan kesan mental yang mendalam. Walupun terpisah oleh keadaan dan peristiwa, pesan mereka dalam psikomemoar ini adalah satu: bahwa hidup harus dijalani dengan kekuatan, harapan, dan cinta; dan hal itu adalah hikmah utama yang bisa kita dapatkan dari pengalaman mereka saat kita telah membaca buku yang satu ini.□(www.amazon.com).
Jumat, 21 November 2008
Selasa, 18 November 2008
Sabtu, 09 Agustus 2008
Skizofrenia dan Segala Aspeknya
(Sekretaris Umum Perhimpunan Jiwa Sehat)
Sebagaimana tercantum dalam Newsmail Jiwa Sehat Januari 2009
(dengan perubahan yang diperlukan)
Contoh Kasus 1
Gejala negatif skizofrenia nampaknya saling tumpang-tindih satu sama lain. Tiap-tiap gejalanya mewakili pengurangan dalam kemampuan emosional dan daya pikir yang penting bagi aktivitas sehari-hari.
Faktor Psikososial
Skizofrenia juga punya penyebab psikososial. Namun penyebab psikososial itu tak akan menjadi skizofrenia jika sebelumnya penderita tidak memiliki potensi neurologis dan genetis untuk penyakit ini.
Faktor psikososial yang dapat menyebabkan skizofrenia adalah komunikasi interpersonal dan kepribadian di masa sebelum jatuh sakit. Komunikasi dalam keluarga di masa kecil penderita yang rancu dan tanpa tautan konteks bisa menyebabkan sang anak suatu hari akan menderita skizofrenia. Berikut adalah contoh dari komunikasi itu yang saya ambil dari Atkinson, Atkinson, & Hilgard dalam Pengantar Psikologi (Erlangga, 1996):
Penderita : Berkeluh kesah. Tidak ada seorang pun yang mendengarkanku. Setiap orang berupaya mendiamkanku.
Ibu : Tidak seorang pun yang membunuhmu.
Ayah : Jika kau ingin bergaul dengan orang-orang intelek, kau harus ingat bahwa kata diam adalah kata kerja dan bukan kata benda.
Perhatikan ungkapan seorang penderita yang pada masa kecilnya mungkin mengalami kerancuan komunikasi:
I may be a "Blue Baby" but "Social Baby" not, but yet a blue baby could be in the Blue Book published before the war.
Penderita ini sakit hati yang mungkin memulai menyatakan "I was a Blue Baby" (kata Inggris blue merupakan kata kiasan untuk "sedih"). Asosiasi "blue baby" dengan "blue blood" (berdarah biru/keturunan bangsawan) dalam arti status sosial segera diinterupsi "social baby not." Frase yang terakhir menunjukkan percampuran dua makna: "yet a blue baby could be in the Blue Book published before the war" (namun anak bangsawan seharusnya tercantum namanya dalam buku-buku orang terkemuka).
Kepribadian yang rentan dan rapuh untuk terserang skizofrenia adalah kepribadian yang pendiam dan penyendiri, hanya punya sedikit kawan atau tidak sama sekali. Keribadian semacam itu akan memperhebat gejala-gejala skizofrenia jika pada suatu hari seseorang menderita penyakit ini. Masih ada suatu misteri yang tak terpecahkan mengapa para penderita gangguan pervasif yang penyendiri yaitu autisme dan sindrom asperger hanya 1% saja yang di kemudian hari menderita skizofrenia (Tony Attwood. Sindrom Asperger. Serambi. 1998).
Stressor (tekanan yang mengakibatkan stres) dari orang-orang di sekitar adalah juga faktor penting yang tak boleh dilupakan. Orang yang mengalami trauma psikis, yang semula telah memiliki kecenderungan genetis dapat menderita penyakit ini. Tapi orang yang punya kecenderungan genetis tapi tak punya faktor pemicu yang cukup juga tak akan menderita skizofrenia (Kaplan &Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry. 2000).
Stigma
Akhirnya harus diungkapkan mengenai stigma (cap buruk, label negatif) yang sangat dahsyat terhadap penderita skizofrenia. Saya, yang juga penderita skizofrenia, pernah menyaksikan sendiri sewaktu menjalani pengobatan di suatu petirahan di Cilacap, Jawa Tengah, pada tahun 2006, bagaimana 4 penderita skizofrenia dikurung dalam kandang berukuran 2X1 meter. 3 di antaranya tidak pernah dikeluarkan. Mandi, makan, minum, dan buang hajat di ruang yang sama. Pak J, sebagai pemilik tempat itu, melarang saya untuk mengajak mereka mengobrol, alasannya adalah "karena mereka ganas". Saya adalah penderita yang seringkali melawan dengan halus segala perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para penderita skizofrenia, saya tetap mengajak mereka mengobrol, dan ternyata, mereka tidaklah seperti yang digambarkan oleh pemilik petirahan tersebut. Mereka bisa menghargai orang yang mereka ajak bicara, dan dari situ saya banyak mempelajari mengenai kehidupan mereka.
Selang beberapa bulan, setelah saya keluar dari petirahan itu, saya mengikuti Focus Group Discussion yang diadakan oleh Departemen Psikiatri FKUI di Hotel Acacia, Salemba, Jakarta. Dr. Irmansyah, yang pada waktu itu masih menjabat sebagai kepala Departemen Psikiatri mempresentasikan sejumlah foto yang beberapa di antaranya ia ambil sendiri sewaktu berada di Padang. Yang paling mengejutkan saya adalah ada suatu foto yang menunjukkan bukti bahwa seorang penderita skizofrenia selama ini hidup di dalam kotak kayu yang amat sempit, tanpa kesempatan untuk menghirup udara bebas. Ternyata pengandangan dan pemasungan belum ada apa-apanya! Masih ada yang lebih dahsyat, yaitu pengurungan dalam kotak kayu!
Adalah suatu hal yang biasa dalam masyarakat kita menganggap penderita skizofrenia sebagai bodoh, menyebalkan, dan berbahaya. UU Kesehatan negara kita (UU No. 23 Tahun 1992) setidaknya memiliki satu pasal yang diskriminatif. Perhatikan bunyi Pasal 26 berikut ini (kata yang penting diberi huruf kursif):
(1) "Penderita gangguan jiwa yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum wajib diobati dan dirawat di sarana pelayanan kesehatan jiwa atau sarana pelayanan kesehatan lainnya."
(2) "Pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa dapat dilakukan atas permintaan suami atau istri atau wali atau anggota keluarga penderita atau prakarsa pejabat yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di wilayah setempat atau hakim pengadilan bilamana suatu perkara timbul persangkaan bahwa yang bersangkutan adalah penderita gangguan jiwa."
Seharusnya hak azasi manusia para penderita gangguan jiwa dilindungi dan diupayakan pencegahan terhadap pelanggaran hak-hak mereka. Selain itu di negara kita belum ada edukasi kepada publik yang membela hak-hak azasi terhadap penderita gangguan jiwa. Sehingga masyarakat masih saja salah memahami mengenai gangguan jiwa khususnya skizofrenia. Pelaku pelanggaran seperti pemasungan dan hal lain yang semacamnya, juga diskriminasi dalam pendidikan dan pekerjaan masih belum ada hukumannya. Sehingga berpotensi untuk berlanjut terus dan menimbulkan lingkaran penderitaan yang tak kunjung selesai bagi orang yang mengalaminya. Beruntunglah, DPR yang lalu telah mempunyai RUU Kesehatan yang baru yang lebih manusiawi dan bahkan dalam UU Kesehatan itu dicantumkan bahwa layanan kesehatan jiwa harus tersedia di berbagai Puskesmas, sehingga lebih dapat menjangkau masyarakat luas.
Lantas Apa yang Harus Kita Lakukan?
Jika Anda atau keluarga Anda ingin menjalani pengobatan, pilihlah obat yang efektif untuk penderita. Ingat, obat yang efektif tidak berarti harus mahal (efektif atau tidak efektif adalah pertimbangan pertama, sedangkan mahal atau tidak adalah pertimbangan kedua). Jika penderita dapat diobati dengan obat generasi pertama (misalnya Haloperidol) dan menunjukkan perbaikan yang signifikan tanpa mengalami efek samping yang berlebihan dan Anda tidak mampu untuk membeli obat yang lebih mahal, mengapa tidak tetap memakai obat itu? Obat atipikal memang menarik dengan "tawarannya" karena memiliki keefektifan dan efek samping yang lebih kecil. Tapi jika semuanya sudah berjalan dengan baik, mengapa tidak dijalani terus?
Jika obat generasi pertama sudah tidak cocok dengan penderita (karena alasan efektivitasnya dan efek sampingnya) maka gunakanlah obat atipikal. Jika Anda tidak mampu untuk membeli obat atipikal, buatlah surat Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Mengenai prosedurnya tanyakanlah kepada Puskesmas setempat. Berbagai rumah sakit di kabupaten dapat memberi Risperidone (dengan berbagai mereknya seperti Zofredal, Neripros, Persidal, Noprenia, dsb) selama sebulan atau dua minggu dalam sekali kunjungan dengan surat itu.
Bagi Anda yang mampu, masa kini adalah anugerah tersendiri, karena ada berbagai pilihan obat generasi kedua bermerek yang efektivitasnya tentu tidak disangsikan lagi, dengan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan obat generasi pertama. Ada Risperdal (Risperidone), Lodopin (Zotepine), Seroquel (Quetiapine), Zyprexa (Olanzapine), dan Abilify (Aripriprazole). Bahkan Quetiapine akan ditambahkan teknologi baru dan akan dirilis dengan merek dagang Seroquel XR.
Bagi para penderita yang kebal terhadap antipsikotik biasa (intolerant to classical neuroleptics) tersedia Clozapine dengan berbagai mereknya seperti Clozaril, Luften dan Sizoril. Jika penderita masih juga tidak menunjukkan perkembangan yang berarti dengan obat maka dianjurkan untuk menjalani ECT (Electro Convulsive Therapy) atau terapi kejut listrik, yaitu pengaliran listrik yang lemah kepada otak.
Dukunglah pengobatan penderita secara psikologis. Jangan melampiaskan Ekspresi Emosi (EE) tinggi kepada penderita (marah-marah, menyindir, membanding-bandingkan, dll) karena hal itu dapat menimbulkan kekambuhan. Hasil penelitian American Psychiatric Association (APA) tahun 1994 menunjukkan bahwa kontak dengan orang dengan EE yang tinggi, tanpa obat, menimbulkan kekambuhan hingga 92%; dan kontak yang tinggi, dengan obat, menimbulkan kekambuhan hingga 53%. Jadi, jika ada sesuatu masalah dengan penderita, bicarakanlah dengan emosi yang tidak meluap-luap.
Tidak ada hal lain yang lebih berharga pada saat ini selain memberikan edukasi yang benar kepada keluarga dan lingkungan penderita skizofrenia agar mereka tahu bahwa skizofrenia adalah suatu penyakit dan bukan suatu kutukan yang seakan-akan membuat penderita adalah makhluk jahat yang harus dipasung atau didiskriminasi.
Akhirnya, kita harus membuat media yang informasi skizofrenia yang lebih banyak dan lebih luas dan dalam jangkauannya. Harus ada kampanye besar dan tanpa henti. Jika kita dapat memerangi stigma terhadap penderita HIV/AIDS, mengapa kita tidak dapat melakukannya terhadap skizofrenia? Jika kita tidak melakukannya sekarang, lalu kapan lagi? Jika bukan kita yang melakukannya, lantas siapa? Saya yakin, kerjasama yang kuat di antara semua elemen masyarakat akan membuat perubahan besar terhadap isu skizofrenia di negara ini. Hal kecil yang Anda lakukan untuk skizofrenia, misalnya dengan menggunakan kata skizofrenia dan bukan kata lain yang menyakitkan penderita, adalah langkah awal untuk menuju ke sana. A little footstep is a beginning of a big journey.
Jika Anda punya komentar apapun mengenai Blog Skizofrenia ini dipersilakan untuk mengirimkan e-mail ke jiwasehat@gmail.com. Segala saran dan kritik yang Anda kirimkan akan sangat berharga.