recent posts



Jika Anda ingin men-download trailer ini (tanpa tambahan apapun di browser Anda) silakan klik di sini.

Sabtu, 17 Mei 2014

CAHAYA (Sebuah Puisi)


Kucari-cari engkau bohlam
di dalam laci, di dalam lemari, dan di dalam panci
tapi engkau tak jua ada

Lalu dengan memakai sendal jepit saja
aku pergi ke toko elektronik "Jaya Raya"
dan membeli engkau.
Satu saja.

Dan di dalam kantong keresek engkau bergumam-gumam
mungkin juga menggerutu

Kuangkat engkau
kudekatkan ke telingaku
dan engkau berkata:
"Kau ingat aku, ingat aku,
tapi telah lupa
akan siapa yang menciptakan cahaya."

MIMPI (Sebuah Puisi)


gulita telah menghalanginya dari menemukan makna pribadi
seperti kata berkarat yang kehilangan arti sejati
ia berjalan tersaruk-saruk di sepanjang pantai
mengikuti jejak orang lain yang telah lama menghilang

ia teringat kepada sebuah bunga tidurnya
yang datang di waktu hatinya sedang hampa
sebuah mimpi nan jelita:

ia melihat dirinya
sedang tertawa terkekeh-kekeh

di luar waktu

GERIMIS SENJA (Sebuah Cerpen)


Pada renyai gerimis yang jatuh, yang melayang sejenak terbawa angin, lalu mencapai tanah yang likat dengan debu, Samad berharap sangat, agar cuaca tak menderas seperti seminggu yang lalu. Seperti waktu ia duduk bersila di muka Toko Terang Jaya; saat tak ada seorang pun yang memberinya uang; padahal ia duduk semenjak hari belum hujan di saat pagi hingga azan asar berkumandang dan menyelusup di lambungnya yang lapar. Untungnya waktu itu A Lin, sang juragan toko itu, memberinya nasi bungkus dengan gorengan tempe di dalamnya, yang hanya ia makan sebagian dan sebagian lainnya ia bawa pulang.
“Pergilah jauh-jauh, jangan biarkan badan dekilmu itu membuat orang yang akan belanja di tokoku menjadi membatalkan keinginannya,” kata sang pemilik warung nasi, jaraknya sekitar lima toko dari tokonya A Lin, mengusirnya. “Kota ini luas, mengapakah kau hanya duduk di depan warungku saja?” Kata-katanya semakin menyakiti. “Ayoh, pergi sana! Pergi jauh-jauh. Jangan dekat-dekat sini!” sang pemilik warung nasi berkata sambil bertolak pinggang.
Hatinya benar-benar perih tiada terperi. Di wilayah pasar ini yang ramah kepadanya hanyalah A Lin. Walaupun ia seringkali tega karena tidak mau membagi apa yang dia dapatkan dari orang-orang yang membeli perangkat elektronik di Toko Terang Jaya-nya, namun ia tak pernah mengusirnya. Tak pernah kasar seperti pemilik-pemilik toko yang lainnya.
Samad meraih tongkatnya, dan dengan berjalan tertatih-tatih, gerimis tipis ditembusnya. Ia berpindah ke dekat gerobak martabak Kang Ahdi. Kang Ahdi melirik dengan sinis dengan sudut matanya. Tapi ia bergeming. Dagangan Kang Ahdi laris, karena itu ia berharap akan ada satu atau dua pembelinya yang memberinya uang barang sedikit. Ia bersimpuh di tanah yang tercecah oleh basah hujan rimis. Orang-orang menatapnya. Ia berkata dalam hatinya bahwa ia tak boleh putus asa dan harus terus berharap, karena harapanlah yang membuatnya terus hidup.
“Berilah saya uang, Bu. Saya belum makan semenjak kemarin,” katanya memelas. Si ibu melengos dan berlalu begitu saja. Dalam pikiran, Samad berkata bahwa alangkah angkuhnya orang-orang terhadap orang yang tak berpunya. Dilihatnya si ibu itu lalu naik ojek, mungkin untuk pulang ke rumahnya. Bahkan ia tak sekalipun menatap ke tempat Samad bersimpuh, tanda bahwa kata-katanya sama sekali tak menyentuh hatinya.
Pada pembeli berikutnya ia kembali berkata dengan lirih, “Berilah sebagian hartamu pada orang fakir, ya Bapak. Karena kesombongan sebesar zarah-pun akan membuat Bapak jauh dari surga.”
Bapak itu menatapnya dengan tajam,”Apa maksudmu dengan jauh dari surga, hah? Kau sendiri mengapa sehari-hari cuma mengharapkan belas kasihan orang lain?,” ia berkata menusuk hati. “Bantulah orang lain berdagang, jangan cuma meminta-minta,” tegasnya lagi.
Samad cuma terdiam. Ia membatin, mungkin bapak itu benar, ia semestinya bekerja selayaknya orang lain. Tapi ia tak pernah lulus dari sekolah, bahkan ia tak bisa membaca huruf Latin. Ia putus sekolah semenjak kecil, karena sejak umur tujuh tahun harus membantu orang tuanya menggarap sawah Wa Haji yang terletak di sebelah timur desanya. Ia juga tak fasih hitung-menghitung, ia sangat takut melakukan kesalahan jika membantu orang lain untuk berdagang. Pendeknya, Samad merasa bahwa ia hanyalah orang yang bodoh. Orang yang bodoh yang hanya bisa mengemis.
Yang ia bisa hanyalah membaca huruf Arab, karena ia pernah mengaji beberapa tahun di mesjid di kampungnya. Ia hanya tahu pengetahuan agama, itu pun serba sedikit. Lainnya ia tak tahu.
Sambil bersimpuh Samad merenungi nasibnya yang malang. Pikirannya berandai-andai. Andai aku adalah anak orang kaya dan bukan anak seorang buruh tani... Andai semua manusia punya rasa belas kasihan terhadap sesama... Andai aku adalah seorang yang tegap dan kuat dan bukan seorang yang kakinya lumpuh... Tapi yang paling mengganggu pikirannya adalah kejadian di masa lalu yang mengubah nasibnya dengan tiba-tiba....
Pada suatu hari ia sedang pulang dari kota, naik angkutan desa yang menuju ke kampungnya. Ia duduk di depan sambil asyik mengobrol dengan supirnya. Sang Supir, yang bernama Kasim, adalah kawan lamanya semasa kecil dulu. Ia menikah dengan orang kota dan kini tinggal dekat alun-alun pusat kota.
Kasim berbelok di kota kecamatan, namun belum sempurna ia membelok, mesin kendaraan mati. Kasim mencoba menstarternya beberapa kali namun gagal. Akhirnya ia meminta bantuan Samad, untuk mencoba mendorongnya dari belakang. Samad pun keluar, dan pergi ke bagian belakang mobil. Berusaha mendorong mobil.
Hari telah gelap, lembayung ungu telah tiada. Dan entah mengapa lampu penerang jalan di pertigaan jalan itu mati pada malam itu. Samad dengan sekuat tenaga mendorong mobil itu. namun tampaknya ia tak dapat. Setelah Kasim turun dan turut mendorong mobil di pintu samping, mobil itu mulai bergerak.
Itu adalah pertigaan tercuram di wilayah kecamatan itu. Jika kendaraan bergerak dari arah kota, tempat Kasim dan Samad tadi berangkat, maka kita akan menemui turunan yang membuat kendaraan manapun akan melaju lebih cepat. Gerak turun dan gaya tarik bumi akan menyebabkannya demikian.
Dan tepat ketika kendaraan telah bergerak sepanjang tiga langkah menurut perhitungan Kasim, Samad merasa bahwa ada sesuatu yang keras menghantam kakinya yang sedang menjulur ke belakang untuk menopang gerak dorongannya ke depan. Samad setelah itu tak ingat apa-apa lagi, yang terakhir ia lihat hanyalah gelap. Dan ia tak bisa membedakan apakah gelap itu adalah gelap malam atau karena ia memang telah berada di alam lain.
Semua orang bersyukur bahwa Samad masih hidup. Namun karena keluarga Samad adalah keluarga yang sangat sederhana, maka ia tak berobat secara selayaknya. Remuk di kaki kanannya karena terhantam bagian depan mobil lain, tak pulih. dan ini menimbulkan kecacatan pada Samad. Orang yang menabraknya itu, tak mampu bertanggung jawab, karena ia hanyalah supir bayaran dari sebuah toko material di dekat situ. Kasim, kawannya -- yang hanya supir angkot --, juga tak mampu menanggung pengobatannya. Ia turut bersedih, namun tak dapat membantu banyak.
Samad berusaha tetap tegar, walaupun dalam hati ia tak kuasa menahan kesedihan: ia kini adalah orang yang cacat. Ia kehilangan pekerjaan sebagai buruh tani.
Istrinya -- yang memang ringan lidah -- mulai mengeluh akan susahnya hidup, dan akhirnya memaksa Samad untuk menceraikannya. Walaupun Samad berusaha sedapat mungkin untuk mencegah keinginan istrinya itu, akhirnya ia mengalah juga karena kalah petah dalam berbicara.
Tinggallah Samad dengan bayang-bayang kesengsaraannya yang mendatanginya tiap waktu. Hampa, sepi, dan sangat menyesakkan dada.

*  *  * 

Samad telah punah harapan saat ini. Tak lagi dibujuknya orang yang lewat di hadapan Toko Terang Jaya itu. Ia akhirnya duduk di sini setelah pemilik kedai yang lainnya merendahkan dirinya. Samad merasa menjadi anjing pincang yang sudah selayaknya dibuang atau ditelantarkan di pinggir jalan. Ia tak lagi merasa menjadi manusia yang sama dengan yang lainnya. Hati Samad bergejolak dan mengutuki orang-orang. Ia berdoa dan kali ini tak mendoakan kebaikan. Ia tahu bahwa neraka berlapis-lapis, dan ia berdoa semoga orang-orang yang tak memberinya uang untuk sekadar makan hari ini ditempatkan di keraknya. “Neraka untuk semua orang kikir dan surga firdausi untuk semua pengemis. Engkaulah Tuhanku, Tuhan para pengemis dan semua orang yang menderita. Engkau Maha Tahu dan Maha Adil,” demikian doanya.
Angin gunung yang dingin menghembus dan membuat renyai rimis meliuk-liuk dan seolah-olah akan terbang kembali ke langit. Pucuk-pucuk pohon yang melatari pasar tradisional itu terlihat bergoyang-goyang. Hari telah senja, dan Samad tak mendapat sepeserpun. Barangkali akan lebih baik jika ia pulang saja dan berbaring di gubuknya. Samad menggapai tongkatnya untuk bangkit. Ia kemudian berdiri dengan bertelekan tongkatnya. Tepat ketika ia akan mengayunkan tongkatnya untuk melangkah, sebuah suara yang telah akrab di telinganya terdengar, “Mang Samad, jangan pergi dulu. Ke marilah sebentar!” A Lin memanggilnya. Samad menoleh, dan A Lin terlihat tersenyum di belakangnya.
“Ada apa, Agan?” Samad tersenyum dengan harap-harap cemas. Apa yang akan dia berikan hari ini? demikian pikirnya.
A Lin tersenyum ramah. Ia kemudian dengan halus berkata, “Mang Samad, aku memohon maaf jika aku tidak banyak memberi sebelum ini. Baru siang tadi saya menyadari bahwa ternyata selama ini aku salah. Dan mungkin hal itulah yang kemudian berimbas ke nasib anakku. Aku akui bahwa selama ini aku terlalu tamak dan hanya menghitung keuntungan lebih besar yang ingin kuraih setiap hari.”
A Lin melanjutkan, “Tapi tahukah, Amang[1], bahwa aku juga punya alasan?”
Samad menjadi gugup, karena tidak menyangka ia akan diajak berbicara serius. Samad menjawab, “Tidak, Amang tidak tahu kenapa, Agan[2] .... Memangnya sebenarnya ada apa?”
A Lin memegang kedua belah pundak Samad, lalu dengan suara yang hampir menangis berkata, “Anakku mengalami gangguan jiwa, Mang. Ia telah bertahun-tahun dirawat di tempat terbaik di Jakarta sana. Namun ia tetap tidak sembuh juga. Aku hanya memberi sedikit kepada Amang, karena aku ingin mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk biaya pengobatan terbaik untuknya.”
Samad terdiam dan suasana menggantung, menunggu penjelasan berikutnya. Namun diam akan membuat pernyataan A Lin berikutnya mengalir tanpa paksaan.
“Aku baru menyadari siang tadi, Mang. Aku menyadari bahwa selama ini aku kurang memberi pada yang kurang beruntung, dan kupikir itulah yang membuat anakku tak kunjung sembuh.”
Samad tambah terhenyak. Ia ingin mengucapkan kata-kata yang menguatkan hati A Lin, yang demikian rendah hati, sehingga menceritakan semuanya kepada seorang pengemis yang tiap hari mengganggu tokonya.
“Mang, mulai sekarang, aku akan menanggung biaya hidupmu. Uang untuk pengobatan anakku selama ini akan kusisihkan sedikit untukmu. Mudah-mudahan apa yang kulakukan akan meringankan penderitaan anakku, sehingga kondisinya membaik dan tidak lagi berkepanjangan menanggungkan penyakit.”
Samad tahu semestinya ia berteriak girang, namun kata-kata yang diucapkan oleh A Lin telah membuatnya lumpuh emosi.
“Bukankah Amang pandai mengaji? Bisakah Amang membacakan ayat Quran untuk anakku sehingga ia lekas sembuh?”
Samad tercenung dan menggangguk, lalu menjawab lirih, “Ya, Agan, nanti Amang bacakan tiap malam.”
Namun Samad teringat sesuatu dan berkata, ”Tapi Agan, Amang tidak menjual ayat Quran.”
“Tidak, Amang, saya ingin Amang mengajikan anak saya sebagai seorang sahabat saya. Dan saya pun menanggung biaya hidup Amang sebagai sahabat Amang.”
A Lin mengangguk menunggu persetujuan. Kedua pipinya basah dijatuhi linangan air mata. Tatapannya yang lara seolah menembus hingga ke inti perasaan Samad.
Dan Samad pun mengangguk.
A Lin tersenyum dan melepas pegangannya pada pundak Samad. “Ini sedikit makanan untuk Amang,” kata A Lin sambil menyerahkan bungkusan. “Dan ini uang untuk Amang,” katanya sambil memasukkan amplop pada saku baju koko Samad yang telah lusuh.
Samad ingin memeluk A Lin, namun ia merasa dirinya terlalu kumal untuk melakukannya. Samad mengucap terima kasih, sambil bersyukur pada Tuhan untuk segala karunia-Nya pada hari itu.
Samad berbalik dan mengayunkan tongkatnya lalu melangkah pergi. Ketika hampir menyeberang, ia mendengar suara A Lin memanggil namanya, ia menoleh dan A Lin berkata dengan agak keras dengan nada yang lebih ceria, “Terima kasih telah berada di toko saya setiap hari! Sehingga saya tahu apa yang harus saya lakukan!”
Samad melanjutkan langkahnya. Hatinya bergumul dengan kata-kata.
Ketika tiba di seberang ia menengadah ke langit. Ia seperti melihat Tuhan dalam senja yang perlahan-lahan datang. Dan ia kini menyadari, bahwa ternyata gerimis adalah percikan karunia-Nya yang agung -- yang Ia sebarkan ke seluruh jagat.





[1] Kata amang adalah bentukan dari mamang, yang dalam Bahasa Sunda berarti ‘paman.’
[2] Sunda: ‘juragan.’

AMUK SANG ANGIN (Sebuah Cerpen)



Angin dan bumi kini tiada berkawan lagi. Rumah-rumah dan gubuk-gubuk hancur diamuk puting beliung. Orang-orang bertanya ada apakah gerangan. Mengapakah tabiat alam berubah menjadi begitu kasar dan mengerikan sehingga mengganggu ketenangan mereka yang seharusnya mereka alami pada malam ini.
Akan tetapi buku-buku lusuh pinjaman dari perpustakaan sekolah anak-anak mereka mengajarkan bahwa alam selalu begitu, kadang tenang, ramah, menyenangkan, lalu berubah menjadi angkara yang penuh dengan amarah, mengamuk, mengobrak-ngabrik, menghancurkan segala. Tsunami, taifun, dan tornado hanyalah tiga di antaranya. Lainnya, untuk menyebut dua saja, volkano dan gempa bumi, adalah penghancur maha dahsyat yang kerap kali meniadakan sejarah dan peradaban manusia.
Aku pergi ke tanah lapang bersama manusia-manusia yang bahkan tak sempat melindungi diri mereka dengan tudung padahal hujan lebat sekali tercurah, bersama angin yang meliukkan pohon-pohon, dan menumbangkan beberapa di antaranya. Sudah menjadi fitrah, manusia tak ingat jika bahagia dan menjerit meminta pertolongan Tuhan jika ditimpa bahala; itulah yang kami lakukan pada saat ini, menjerit, istigfar, mengingat-ingat dosa, dan memohon agar Sang Ilah menghentikan petaka yang datang. “Tiada kekuatan selain Engkau, Ya, Allah. Engkaulah Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih,” kataku berdoa dalam lubuk hati.
Orang-orang berkerumun di lapangan sepakbola yang kelak akan digusur untuk menjadi mal itu dengan berbagai zikir dan istigfar. Mereka meminta dan menjerit dalam hati karena mereka baru saja menyadari betapa Allah sangat besar kuasanya untuk menimpakan apa saja jika Ia berkehendak.
Angin begitu hebatnya bertiup sehingga aku berkata dalam hati, “Inilah akhir hidupku, mungkin takkan dapat lagi aku mencari uang untuk anak-anakku, yang dua masih sekolah dan yang terakhir masih berusia empat tahun. Istriku yang di kampung takkan pernah lagi kembali ke pangkuanku, karena aku memang akan pupus dari muka bumi. Rumahku akan berganti dari rumah petak menjadi pusara yang tertutup dengan tanah.”
Lalu terlintas dalam benakku,”Mungkin sekali aku akan dikuburkan secara massal bersama banyak orang lain. Tak ada nisan bertulisan di tempat kepalaku terbujur, yang ada hanyalah satu pahatan untuk semua pada keramik yang kusam yang berbunyi: Korban Puting Beliung Tanah Tinggi: 13 April 2011”.
Aku memeluk anakku erat-erat dengan kedua belah tanganku. Tak ada seorang pun dari anakku itu yang mengenakan jaket untuk melindungi mereka dari angin dan bias rencik hujan yang begitu deras. Anakku yang paling kecil menangis keras-keras dan berseru, “Ayah…! Ayah…! Aku takut ….!” Ia menjerit dan mendekap kakiku erat-erat. Aku menjangkau badannya dan mengaisnya di pinggangku, mendekapnya ke badanku. Ia meraung-raung. Tak ada lagi rumah tersisa di daerah tempat kami tinggal, yang ada hanyalah puing-puing yang berserakan dan itu pun masih terseret-seret kena amuk angin yang tak mau tahu akan doa yang kami panjatkan.
Angin terlampau keras bagi tubuh kami sehingga kami hampir terbawa olehnya. Kami pun berjongkok dengan menutupi wajah kami yang basah kena simbah air hujan. Orang-orang makin histeris karena hidup mereka telah lantis. Hanya dalam hitungan menit.
Kulihat langit, rembulan tak berkutik menghadapi awan-awan yang demikian pekat dan lekat dengan uap air. Angin semakin menjadi-jadi, di langit dan di bumi ia berlari lesat melabrak apa saja yang ada. Anakku mulai menjerit, “Ibu… Ibu …, aku ingin ke Ibu ….”
Anakku yang nomor dua menggigil karena udara menjadi dingin bukan kepalang. Anakku yang sulung menegadahkan tangannya dan berdoa dengan bisik yang tak dapat kudengar dengan jelas karena suara angin yang berderau-derau di telingaku. Tetanggaku yang sudah lupa dengan auratnya menangis sesenggukan sambil menjerit, “Ya, Gusti! Kula Nyuwun Pangampura![1]
Di kejauhan nampak Bang Asim menguak-nguak papan-papan rumahnya yang roboh. Kiranya ia mencari sepupunya yang tertimpa dinding rumahnya. Ia berhasil menemukan, akan tetapi sebuah lembaran seng terbawa angin, dan kayu yang ada di pinggirannya menghantam pelipisnya, Bang Asim pun nampak tak bergerak lagi. Tak ada dari kami seorang pun yang mencoba menolongnya, karena angin masih terlampau keras dan semua harus berpikir akan keselamatan dirinya dibandingkan orang lain.
Malam semakin dalu dan kami semua masih menunggu akan datangnya ampunan Tuhan. Malam itu, di tanah lapang yang basah, kami berserah diri pada kuasa-Nya. Kami memang berbeda raga, dan selama ini terkadang kami bertikai karena perkara sepele. Namun malam itu, kami menyatukan hati untuk memohon kasih-Nya ….

*  *  *

“Bang Pur, cobalah kau pergi ke tempat pemeriksaan di sana, cek kondisimu,” kata Yadi kepadaku.
“Tidak usah, aku baik-baik saja,” jawabku sambil merasakan demam yang membuat semua badanku terasa dingin.
Yadi memegang dahiku. “Apa kau tak rasakan badanmu itu, panas begini.”
“Tidak, aku tidak apa-apa,” kataku lagi-lagi menampik.
“Janganlah seperti Bang Asim itu …, dia meninggal karena menolak makan dan minum …,” lanjutnya. “Janganlah kejadian buruk membuat kita patah semangat untuk hidup,” ia meneruskan. “Kehilangan sepupu seperti Bang Asim itu jangan membuat kita enggan meneruskan hidup.”
Aku berkata dalam hati, Asim terguncang dan bersedih sebab uang tabungan hasil berdagangnya takkan mungkin dikembalikan oleh sepupunya itu, sebab ia sudah meninggal.
Yadi rupanya bosan menggumbuki aku, lalu ia pergi sambil berkata, “Periksa Bang! Mumpung gratis!”
Aku tak peduli padanya. Ia melihat lagi kepadaku di sudut jalan. Tapi aku tak peduli.
Tempat pengungsian ini telah menjadi terlampau kumuh untuk ditinggali oleh anak-anakku. Sampah berserakan di mana-mana. Dan air yang tergenang mungkin bisa menyebabkan nyamuk malaria atau demam berdarah bersarang di dalamnya. Jumlah relawan terlampau sedikit. Tak ada yang dari luar negeri, karena ini adalah bencana lokal, dan bukan bencana nasional, apalagi internasional.
Burung alap-alap tampak berputar-putar di atas sana. Apakah mereka mencium bau kematian dari tempat ini? Pohon-pohon yang tumbang telah ditetak dengan kapak dan disingkirkan dari jalanan. Beberapa keluarga memanfaatkan kayunya untuk membangun rumah mereka yang baru.
Terlihat, anak keduaku berjalan di kejauhan di antara tenda penampungan yang berbaris-baris, ia bersama seseorang yang kukenal dalam pekerjaanku. Aku menggigil sambil menghela napas. Ia lagi. Apakah akan kulanjutkan pekerjaanku itu? Setelah semua ini…?
Darahku tiba-tiba berdesir, setelah istriku meninggalkanku karena pekerjaan ini, dan kini puting-beliung ini. Aku semestinya sadar dan bertaubat.
Tapi mereka semakin dekat. Apakah yang akan kukatakan kepadanya?, kataku kepada diri sendiri.
Jantungku berdetak keras karena ingatan akan Tuhan bertikai dengan suara akan kebutuhan perut anak-anakku. Aku hanya lulusan SMP, apa lagi yang bisa kukerjakan selain pekerjaanku itu?
Aku tak dapat memutuskan dan tubuhku terasa lemah lunglai karena pertikaian dalam batin yang tak dapat kudamaikan. Mereka hampir tiba di depanku.
Aku berdoa, “Ya, Allah, kuatkanlah imanku untuk menahan godaan dunia.”
Ia nampak tersenyum dari jarak sekitar dua puluh langkah dariku, dan kukira aku dapat melihat syaitan pada senyumannya itu.
Anakku berseru ketika telah cukup dekat, “Ayah, ini Wak Ayi ke sini, ingin memberi Ayah pekerjaan.”
Di tengah lunglainya tenagaku, ada satu suara yang bangkit dan mulai menguasai hatiku. Aku harus mulai menjadi manusia yang lurus mulai saat ini. Aku tak ingin menjadi manusia yang degil terhadap Allah lagi. Aku akan mulai menata hidupku sehingga anak-anakku punya contoh yang baik. Aku akan menolak pekerjaan itu. Aku harus tegas terhadapnya!
“Pur, bagaimana kabarmu? Kata anakmu kau demam?”
Aku tak menjawab sepatah kata.
“Jika kau ingin berobat, aku bisa mengantarmu. Bayar tak masalah, biar kutanggung.”
Aku tak menjawab.
“Pur, janganlah bermuram durja. Tak baik untuk kesehatanmu. Aku tahu rumahmu itu, walaupun sederhana, kaubangun dengan susah-payah. Tapi sudahlah, semuanya sudah berlalu. Kita bangun lagi rumah yang baru. Lagipula kau harus memikirkan anak-anakmu, mereka sudah mulai besar-besar dan mulai butuh biaya banyak.”
Aku berusaha mengatupkan mulutku serapat-rapatnya agar tak menimpali apa yang ia sampaikan. Tapi kemudian:
“Anakmu sungguh pintar-pintar. Sayang jika mereka sampai putus sekolah. Kau pasti menyimpan harapan yang besar terhadap mereka. Kau pastinya sangat menyayangi mereka, bukan?” katanya membujuk.
Aku hanya diam sambil menatap sekilas matanya yang penuh siasat.
“Ini uang untukmu. Kutunggu kau di tempat biasa. Komputer untuk merekap togel kita tak hancur oleh angin puting beliung. Tak ada dinding atau atap yang menghancurkannya. Datanglah kau ke rumahku sekitar tiga hari lagi, setelah kau baikan.”
Aku tercenung menggenggam amplop yang tebal. Tanganku gemetar.
“Ingat, Pur. Kau mesti jaga kesehatan, agar bisa kerja lagi denganku.”
Ia berlalu dan berkata sekali lagi, “Ingat, tiga hari mendatang kau datang ke rumahku. Jangan lupa!”
Ia pergi dan aku menatapnya hingga ia menghilang di kejauhan. Badanku menggigil. Kurasa demamku semakin tinggi. Dapat kurasakan malaikat dan Iblis bertikai dalam hatiku. Timbul keinginan untuk memanggil Wak Ayi untuk mengembalikan uangnya. Tapi suaraku tersekat di tenggorokan.
Aku terhenyak sejenak. Aku menatap anakku yang paling kecil yang sedang tertidur. Kemudian inilah yang kukatakan kepada anakku yang nomor dua, yang tadi mengantarkan Wak Ayi, “Nak, marilah kita antar adikmu itu ke ahli jiwa anak-anak. Ia nampaknya terguncang karena peristiwa angin puting beliung lima hari yang lalu itu. Dan… mungkin juga… kita dapat menjemput ibumu di Yogya esok hari untuk datang dan sekadar memangkunya. Juga panggilah kakakmu, suruh ia beli makanan di warung yang sudah buka untuk makan kita siang ini, karena bantuan dari sukarelawan itu hanya mi instan yang membuatku tak bertambah baik”
Aku memberinya selembar lima puluh ribu. Dan ia berlari ke arah kakaknya yang sedang bermain di air payau, sambil merajuk agar dibelikan coklat kesukaannya.
Aku merapatkan kain sarungku, karena udara yang masih mendung terasa sangat dingin di tubuhku. Jaketku yang kupakai juga rupanya tak lagi mampu menahan hawa yang tidak bersahabat ini. Aku rebahan dalam tenda di samping anakku yang sedang terlelap dengan masih menggenggam botol susunya. Aku mencium kening anakku dan berkata lirih, “Nak, semoga jika kau besar tak meniru kekonyolan ayahmu ini.”
Angin berhembus mendayu, udara dingin menyelusup lewat sela-sela pakaianku; membuatku makin merapatkan kain sarungku. Azan asar dari musala darurat berkumandang.
Dan dapat kurasakan, tubuhku semakin menggigil saja.





[1] Jawa: “Ya, Tuhan. Aku mohon ampunan.”

Jumat, 16 Mei 2014

LILIN DAN PUISI (Sebuah Cerpen)


Dari suara daun-daun yang berdesir, aku mengetahui bahwa angin tengah menerpa pepohonan di luar sana. Suara katak dan jangkrik tak ada malam ini. Hanya ada suara burung malam yang membuat cemas bergulung di dalam hatiku. Kulihat lewat jendela di ruang tengah rumahku ini, cahaya rembulan menyelusup lewat sela daun-daun pepohonan, sedikit menyingkirkan gelap di luar sana yang berlapis-lapis.

Aku tinggal di tengah perkebunan jati yang tak ada penerangan listrik. Alat penerang di rumah kami hanyalah dua batang lilin, yang menyala di tengah rumahku dan di kamar ibuku. Aku takkan bisa menyalakan lilin yang lain, sebab aku ingin menghemat lilin yang aku punya ketika melewati malam.

Satu-satunya warung yang dekat dari rumahku, dua kilometer jauhnya, yaitu warung sederhana tempat aku bisa membeli keperluan untuk menyambung hidup. Pemilik warung telah setuju untuk memberikan potongan harga kepadaku, setiap kali aku membeli lilin. Lilin yang kubeli jumlahnya tak banyak, hanya empat batang setiap membeli. Karena aku hanya bekerja serabutan saat kondisi memungkinkan.
Pada suatu hari, sang pemilik warung berkata, “Itulah satu-satunya hal yang dapat kubantu. Maafkan aku, karena aku pun orang miskin sepertimu, yang tak dapat mengerti dan berbuat banyak untuk orang lain.”

Aku mengangguk dan sambil bersyukur dalam hati, kemudian berucap dengan tulus, “Terima kasih banyak atas bantuanmu.”

Ia lalu bertanya, “Bagaimana kabar ibumu?”

Aku tidak menjawab, dan pergi begitu saja sambil kurasakan gundah gulana yang makin membesar di dalam hatiku. Sambil berjalan menjauh dari warung itu aku melihat ke belakang sesekali, dan kulihat sang pemilik warung berbicara dengan istrinya dengan kata yang bisa kuduga sebelumnya, “Ia benar-benar anak malang.”

Ibuku, ketika aku duduk di ruangan tengah malam ini, sedang tidur di ruangannya; setelah melewati hari yang makin lama makin sulit. Aku adalah seorang anak tunggal, yang ditinggal pergi oleh ayahku ketika ia telah lelah dengan ibuku. Ia pergi entah ke mana, tak ada kabar berita lagi darinya yang kuterima. Dan aku terpaksa menjalani semuanya hanya bertiga saja: aku bersama ibuku, dan sesuatu yang abstrak yang bernama ketabahan hati. Aku sesekali memikirkan masa depanku, tapi ketika telah jenuh mencari jalan keluar dalam hidupku, kubuang pikiran akan adanya masa depan itu. Aku kini hanya hidup dengan hari ini. Apa yang bisa kulakukan saat ini, kulakukan. Apa yang tak sanggup kulakukan pada saat ini, maka tak kulakukan.

Aku punya buku-buku tulis yang masih banyak bagian kosongnya, bekas buku catatan ketika aku masih bersekolah. Kurasa aku takkan pernah bersekolah lagi, karena itu buku-buku itu kumanfaatkan untuk melewati malam dengan menuliskan puisi-puisiku. Ketika pertama kali aku putus sekolah dan mulai menemani ibu, aku menulis:

Kawanku bertanya berulang kali kepada kami
Siapakah wanita terindah yang tiada terperi?
Kawan di sebelahku menjawab, “Yang berdiam di televisi.”
Kawan di hadapanku menjawab, “Yang menghuni bagian barat bumi”
Kawan sejatiku menjawab, “Pacarku, Kristi Kirana Putri.”

Dan tibalah giliranku

Mereka memandang lekat-lekat kepadaku
dan dengan takut dan ragu
aku menjawab pilu
“Ibuku, ibuku adalah wanita terindah dalam hidupku
karena kasihnya tak berbatas waktu
walau bencana darinya tak jua berlalu
walau ayah beranjak di suatu waktu
tak kembali darinya dan dariku.”

Lilin di ruang tengah ini bergoyang-goyang, ditiup angin yang menyelusup dari sela-sela anyaman bilik yang menjadi dinding rumahku. Sesaat lagi akan datang fajar, dan aku harus bersiap-siap untuk ibu. Kusimpan puisiku dalam lemari yang telah renta dan mulai keropos kaki penyangganya. Mungkin kupotong saja kaki lemari itu agar tak berkaki lagi, membiarkannya badan lemari tersebut menempel langsung di lantai tanah rumah kami. Tapi kini aku tak punya waktu. Lagipula aku harus bersiap untuk Ibu.

Aku menyiapkan mi instan untuk ibu. Aku harus kuat menghadapi semua ini. Aku pergi ke dapur sambil membawa lilin, menyalakan tungku dan menjerang air dalam panci kecil. Satu-satunya panci milik kami setelah yang lainnya aku loakkan kepada sang pemilik warung terdekat.

Dedaunan berdesir lagi di luar. Kayu bakar yang kunyalakan bergemeratik, dan aku memperbesar nyalanya dengan meniup melalui salung. Mungkin hari ini lebih berat daripada yang kemarin, mungkin hari ini lebih ringan daripada yang kemarin. Lalu muncul dalam pikiranku, mungkin ibu akan sembuh suatu hari. Mungkin ibu takkan pernah sembuh selamanya.

Dan pikiranku menerawang jauh, ketika ibu adalah wanita yang penuh kasih yang takkan pernah tergantikan lagi. Ketika aku kecil, ibu membuatkanku penganan dari adonan tepung terigu dan gula merah yang lezatnya bahkan takkan tergantikan oleh penganan yang kutemui ketika di sekolah. Ibu bersedia membetulkan kerunting yang aku punya ketika ayah tak ada, yang merupakan pemberian dari kawanku yang berternak sapi. Bahkan satu atau dua kali dalam sebulan, ibuku mengantarkanku ke sekolah, hanya untuk menemaniku ketika berjalan kaki di antara hutan jati yang jauhnya lima kilometer. Di awal tahun ajaran, ibu akan memecahkan celengannya, untuk membeli beberapa buku tulis yang aku butuhkan.

Air mendidih dalam panci, aku menyobek bungkus mi instan dan mencelupkan isinya ke dalam air. Bumbu kutuangkan dalam piring plastik yang kami punya.

Ibu dan Ayah menikah ketika masih remaja, karena memang demikianlah kebiasaan di daerah sini. Ibu diboyong oleh Ayah ke rumah yang telah disiapkan olehnya semenjak lamarannya diterima oleh keluarga Ibu. Ayah bekerja di tempat pemotongan kayu dekat SD terdekat, SD yang kelak menjadi tempat aku bersekolah. Ibu mengandung pada usia 17 tahun. Kemudian lahirlah aku, yang menjadi anak pertama sekaligus terakhirnya.

Ayah dan Ibu, setelah kelahiranku, amat bahagia. Betapa tidak, Ayah sebagai pegawai tempat pemotongan kayu mendapat gaji yang memadai yang bahkan melampaui gaji kakek yang selama ini hidup dengan berdagang di pasar di kabupaten kota. Walaupun ia setiap senja datang dengan keletihan fisik, namun hatinya bahagia. Karena sebagai seorang lelaki sederhana, apalagi yang kurang darinya? Istri, anak, rumah, dan pekerjaan ia miliki semuanya.

Maka Ayah pun berangkat bekerja setiap hari dengan semangat. Ia bekerja dengan rajin, semangat dan sesekali bercanda. Kawan-kawannya tambah menyukainya, dan mengatakan bahwa Ibuku ternyata membawa kebahagiaan untuk dirinya.

“Sesekali, kau harus membelikan hadiah untuk istrimu yang kaucintai itu,” kata salah seorang temannya di tempat penggergajian.

“Menurutmu, hadiah apa yang layak kuberikan?” kata Ayah bertanya.
“Belikanlah ia pakaian dengan warna yang ia sukai. Ia pasti akan tersenyum tersipu-sipu dan akan merasa sangat senang menerimanya, “ jawab kawan Ayahku.

“Oh, begitu? Baiklah aku akan membelikannya kain berwarna biru. Agar ia selalu ingat kepadaku di waktu ia mengenakannya di rumah.”

Ibu memang sangat senang dengan kain yang dibelikan oleh Ayah. Dan ia semakin menyayangi kedua orang yang berada di dalam hidupnya kini: Ayah dan aku. Kelak ketika aku telah mengerti perkataan orang dan dapat menjawab dengan gaya kanak-kanakku, Ibu bercerita bahwa Ayah menginginkan punya banyak anak, yang berarti banyak adik bagiku, agar rumah kami di tengah hutan itu menjadi ramai dengan canda dan tangis anak-anak.

Namun tak ada anak mereka selain aku, yang kini kalut dan gelisah menghadapi kehidupannya. Aku tak tahu lagi harus mengobati ibu ke mana. Aku semula bekerja sebagai buruh serabutan di tempat ayahku dulu bekerja. Namun kini tak dapat lagi, aku harus berada di dekat ibu. Ibu membutuhkan aku dan aku membutuhkan ibu. Usiaku saat ini 20 tahun, seharusnya aku berumah tangga pada usiaku ini, namun aku tak dapat; aku harus menunggui Ibu. Aku juga terpaksa putus sekolah hingga kelas satu SMA, juga karena Ibu.

Balai-balai tempat ibu tidur mulai terdengar suara berderit. Ibu telah bangun. Aku berdoa dalam hati semoga hari ini aku dapat melalui semuanya dengan baik. Kuucapkan Al-Fatihah agar segala yang kualami hari ini mendapat bantuan kekuatan dari Tuhan.

Ayah pergi saja setelah semuanya tak dapat teratasi. Pada usia pernikahan yang kesepuluh, ibu tiba-tiba sering melamun, dan menatap kosong. Mulutnya seringkali bergumam, namun tak jelas apa yang digumamkan. Ayah yang cemas membawanya ke sebuah petirahan di kabupaten kota. Namun tidak ada perkembangan yang terjadi. Ibu tetap saja seperti itu, menatap kosong dan bergumam sendirian.

Ayah yang bingung dengan apa yang terjadi mencoba mengajaknya berbicara agar dapat mengungkapkan apa sebenarnya yang terjadi pada Ibu. Tapi Ibu tak pernah menanggapinya atau bahkan balik melihat tatapan Ayah. Ia tetap menatap dengan pandangan hampa. Aku tak mengerti apa-apa dahulu. Aku hanya tahu, Ibu yang kusayangi berubah menjadi demikian pendiam, sehingga aku tak tahu harus bagaimana. Namun lama-kelamaan aku tahu, bahwa Ibu sakit dan Ayah di sela-sela pekerjaannya sedang mengusahakan pengobatan baginya.

Keluarga Ayahku dan Ibuku tinggal jauh dari sini, dan mereka sibuk dengan keluarganya, sehingga mereka hanya berkunjung sesekali ke sini.

Setiap hari, yang kulihat dari Ibuku adalah ia bergumam sendirian dengan mata yang menatap awang-awang dalam lamunannya. Aku mencegah kawan-kawanku untuk datang ke sini, karena aku malu dengan kondisi Ibu. Beberapa kawan Ayah yang mengunjungi rumah kami mengatakan kalau Ibuku tidak waras. Itu mengejutkan Ayah, dan membuat kami merasa nista pula. Selama ini kami hidup dengan orang-orang yang biasa-biasa saja dan tidak pernah tahu batas antara kewarasan dan ketidakwarasan.

Akhirnya setelah bertahun-tahun dan telah habis uang banyak untuk berobat, Ayah menyerah. Dan selanjutnya kalian telah tahu apa yang terjadi. Ayah pergi meninggalkan kami dan tak kembali.

Mi instan telah masak. Kubawa piringnya melewati ruang tengah untuk kuserahkan kepada Ibu yang ada di kamar. Aku melalui lilin di meja di ruang tengah. Aku menyentuh api lilin dengan telunjukku sekilas, apinya bergoyang-goyang, ia adalah kawanku dalam penderitaan ini. Aku tak lagi punya sahabat selain lilin-lilin itu. Aku tahu kekuatan kebaikan bersemayam di sana. Aku tahu lilin itu bukanlah sekadar lilin, ia adalah penyokong keteguhanku. Ia seperti malaikat yang diutus Tuhan untuk menambah kekuatanku.

Aku duduk di pinggir balai-balai dan aku berkata, “Ibu, makanlah dulu. Pasti Ibu lapar sekali. Kubuatkan mi instan kesukaan Ibu.”

Ibuku memandang kosong ke langit-langit. Seperti biasanya, ia tak berbicara sedikitpun. Aku menyodorkan sesendok mi instan ke mulutnya. Ia mau membuka mulutnya, mengunyahnya, menelannya. Begitulah seterusnya, hingga mi instan yang kumasak habis tanpa sisa.

Lalu kutuangkan air dalam gelas plastik kepunyaan ibu lalu kusorongkan ke dalam mulut ibu, ia meneguknya beberapa kali. Lalu kembali diam membisu.

Aku tak tahu harus bagaimana. Kami hanya bisa terdiam dengan pikiran masing-masing. Aku mencoba mengajaknya berbicara, “Ibu, sudahlah, jangan memikirkan hal yang tak jelas, tak baik bagi kesehatan Ibu.”

Ia tak menjawab apa-apa.

“Ayah yang pergi juga jangan dipikirkan. Ibu punya aku, anakmu yang mencintaimu”

Ia diam membisu.

Aku menghela nafas.

Lalu aku berkata, “Ibu, aku punya puisi untuk Ibu, sebentar aku ambilkan.”

Aku beranjak ke ruang tengah dan mengambil kertas buram yang telah kutulis.

Aku berdiri di samping balai-balai Ibu, lalu dengan gaya pendeklamasi, aku membacakan puisi untuknya.

Separuh lingkar langit
Dan sepenuh lingkar buana
takkan pernah bisa menggantikan
apa yang telah kauberikan kepadaku

engkau adalah angin, awan, dan air

yang berpindah ke ladang yang kerontang
dan deras tercurah bergelombang-gelombang
yang menghidupkan rumput-rumput, perdu, dan tanaman sempurna
yang mengundang burung madu, kupu-kupu, dan lebah pekerja
untuk selalu bertengger di mahkota bunganya yang berwarna

Tuhan yang bertengger di atas pohon jambu

di sebelah rumah kita
selalu tahu
bahwa cinta takkan pernah berlalu
karena masa dan petaka

cinta itu terletak di dalam inti diri

takkan pernah terusir pergi
bahkan oleh derita jiwa yang paling ngeri

Ibu,

aku  tahu engkau mencintai anakmu
walau engkau
tak mampu berkata sepatah kata
kepadaku
dan kepada semesta

Aku berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan setapak itu. Aku mendengar burung-burung pagi bernyanyi di dahan pepohonan di sepanjang perjalananku. Aku hendak membeli lilin dan mi instan di warung terdekat. Aku memegang buku catatanku di tangan kiri, sedangkan tangan kananku menyapa dedaunan yang harum basah oleh titik-titik embun. Lalu kuusapkan tanganku yang basah ke wajahku. “Embun dapat membuat dapat membuat wajah kita berseri,” demikian kata ibu sewaktu aku kecil. Aku selalu mengartikannya secara harfiah, dan karena itu kuusapkan lagi tanganku yang basah itu ke mukaku.

Jika kau pertama kali berjalan ke warung itu, maka warung itu akan terasa jauh. Namun jika kau telah sering ke sana, maka akan terasa biasa saja. Mungkin kau akan mengeluh jika pada malam harinya hujan hebat, karena hal itu membuat tanah yang likat menempel di sandalmu. Jika demikian, maka kau harus berhenti berulang kali jika ada batu berpinggir tajam, untuk membersihkan bagian bawah alas kakimu.

Seekor sigenting melewati wajahku dan aku memperhatikannya hingga ia hilang di antara daun-daun jati. Aku ingat perkataanku sewaktu duduk di kelas 6 SD, “Seandainya aku bebas memilih jadi apa, aku ingin jadi lebah. Karena lebah punya saudara yang banyak dan tidak tinggal hanya bertiga dengan kedua orang tuanya.” Ibuku tergelak dan Ayah hanya tersenyum simpul. Mungkin Ayah juga merasa sedikit tersinggung, karena ia tak dapat memberi Ibu banyak anak.

Pada suatu hari Ibu muntah-muntah di perigi. Ayah segera mendatangi Ibu sambil mengulum senyum.

“Apakah engkau mengandung untuk yang kedua kali?” tanya Ayah.
Tapi Ibu menjawab, “Tidak, aku kehujanan kemarin siang, saat pulang mencari kayu bakar.”

Ayah nampak sedikit kecewa dengan jawaban dari Ibu. Pada malam harinya Ibu demam, dan dengan bertemankan obor, Ayah pergi ke warung terdekat itu untuk membeli obat masuk angin. Namun Ayah tidak hanya kembali dengan obat, tapi juga kembali dengan istri sang pemilik warung, yang juga punya keahlian memijat dan mengusir makhluk gaib yang merasuk dalam tubuh seorang manusia. Dalam jangka dua hari kemudian Ibu telah sembuh kembali seperti sediakala.
Lihatlah, kita telah dekat. Itulah warungnya.

Namun mengapa pagi-pagi begini telah ramai oleh orang? Aku tidak suka keramaian. Aku suka ketenangan. Banyak manusia akan mengganggu hatiku.

Langkahku kuperlambat. Aku mendekat dengan penuh keraguan. Apakah lebih baik jika aku pulang saja dan tak jadi belanja? Akan tetapi mi instan untukku dan untuk ibuku tinggal dua, dan aku harus membeli lagi untuk makan siang nanti.

Kupikir aku harus menguatkan diri. Tetapi aku tak dapat membohongi hatiku bahwa aku tidak suka terhadap keramaian. Aku semakin mendekat dan dapat kulihat gerak bibir mereka. Pak Sadi, sang pemilik warung, menyeringai kepadaku, lalu berkata:

“Selamat pagi, anak malang. Apakah kau akan membeli mi instan lagi?”

Dan istrinya, sambil tersenyum-senyum berujar, “Anak malang yang sial, apakah kau juga akan membeli lilin?”

Semua orang terbahak dan seorang dengan kumis melintang berkata, “Tidakkah kau merasa letih dengan ibumu, anak malang?”

“Sayang kau putus sekolah, anak malang, padahal bukankah semula kau bercita-cita menjadi lebai malang?” kata yang seorang lagi.

 “Tidak, menurutku kau semestinya merantau ke kota dan tidak malang-melintang di hutan jati ini,” tutur orang yang berbaju biru.
Badanku gemetaran, dan kini ingat benar mengapa aku tak dapat berhadapan dengan orang ramai semenjak aku berjuang sendirian.
Aku menguatkan diri, lalu aku menyerahkan uang enam ribu rupiah, “mi instan rebus empat, dan lilin juga empat,” kataku kepada Pak Sadi.

Tapi sebelum mengambil uang itu, tiba-tiba Pak Sadi menjawab sambil mengambil napas panjang, “Anakku yang malang, warung kami tidak menerima uang Kabupaten Malang untuk jual-belinya.”

Aku gemetar hebat, uang itu jatuh ke tanah, aku lekas-lekas memungutnya dan berlari secepat-cepatnya. Buku catatanku kugenggam erat-erat. Setelah sekitar lima belas hasta aku terjatuh karena tersandung batu. Aku berdiri, dapat kulihat lututku berdarah, namun aku berlari lagi untuk menjauh dari orang banyak. Dapat kudengar mereka tertawa di belakangku.

Aku berhenti di tempat matahari dapat kulihat dengan jelas. Kubuka buku catatanku pada tulisan yang terakhir. Lalu aku bersajak:

walau matahari padam
rembulan tak menyinari malam
atau tak ada bintang menembus kelam
aku akan tetap tahu
Kau dan teduh damai-Mu
akan selalu menungguku di suatu sudut waktu.

Aku hanya bisa bertahan dan berdoa

semoga saja kami berhenti bertanya mengapa
sehingga kami akan bertemu dengan inti kasih-Mu
saat semua luka telah berlalu.  

Matahari tetap bergejolak dengan pancaran sinarnya. Dan aku berkata dalam hatiku sambil berjalan pulang, bahwa aku tahu aku dan ibuku adalah orang-orang yang goyah jiwanya, tapi aku akan terus melewati malam dengan menyalakan lilin dan menulis puisi. Karena hanya itulah yang dapat kulakukan untuk melewati semuanya.

Lilin dan puisi dan Ibu adalah sahabat jiwaku untuk terus bertahan hidup menghadapi dunia ini.

JENDELA WAKTU (Sebuah Cerpen)


Dalam ruang diriku, waktu berhenti bergerak, mematung, dan tak lagi pernah berlalu. Dan itu terjadi sejak Asya masih kecil, semenjak ia menyadari bahwa aku ada dalam kenyataan, dan bukan hanya khayalannya belaka. Sementara di luar sana, pohon jambu, tetumbuhan di pot, teras, gang yang panjang dan berbatu, dan anak-anaknya terus tumbuh tanpa batas. Menjadi besar, dewasa, lalu lupa. Lupa bahwa mereka pernah kecil dan tak peduli dengan tuntutan orang lain. Waktu telah membawa mereka terlalu cepat sehingga tak pernah menyadari bahwa seharusnya mereka berhenti sejenak dan menikmati saat-saat berharga bagi diri mereka sendiri. Bukan untuk orang lain.

Hanya Asya yang tak pernah jadi dewasa dan lupa. Hanya dia yang setia dengan masa kecilnya. Hanya dia yang tetap setia untuk tinggal dalam aku, kamarnya yang tak tersentuh putaran waktu.

“Mengapa kau tak mengambil makan di dapur, Asya? Ini sudah sore dan kau belum makan siang,” ibunya menegurnya, karena sejak tadi ia masih saja asyik dengan komputernya.

Asya menggeliat dan tak langsung menjawab. Tapi ia kemudian berkata, “Nanti saja, Ma. Asya belum mau makan.”

Ibunya menarik napas panjang dan menuju ke dapur, mengambil secentong nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Kemudian ia kembali ke kamar, menyerahkan makan siang kepadanya. Ibunya tak habis pikir, kapan anaknya itu akan jadi dewasa. Bahkan untuk makan teratur saja ia harus disuruh.

“Mama, apakah Mama tahu di mana CD musik yang kemarin papa belikan untuk Asya?” tanya Asya kepada Ibunya.

“CD? CD apa?” ibunya mengernyitkan dahi. Tapi kemudian ia seperti teringat sesuatu dan berkata, “Oh, ya, mama rasa adikmu meminjamnya kemarin, entahlah ia bawa ke mana. Mama tidak tahu kalau CD itu milikmu.”

“Apa? Dibawa? CD itu kan baru Asya beli dan belum Asya setel!”

“Tadi adikmu bilang akan gladi resik drama di panggung di perempatan jalan sana. Mungkin CD-mu dipinjam sebagai penghias musiknya,” timbal mamanya.

“Tapi Asya ingin menyetelnya sekarang, Mama! Tolonglah kasih tahu dia agar mengembalikannya sekarang juga,” kata Asya dengan sedikit emosi tapi manja.

“Mama rasa Asya bisa mengambilnya sendiri di panggung di perempatan jalan sana, “ Mama sengaja menyuruh Asya agar keluar dari kamarnya.

Tapi waktu tak bergerak di dalam diriku, dan demikian juga tumbuh-kembang anak manusia yang berada di dalam diriku. Asya masih seperti dua puluh tahun yang lalu; akan sangat sukar untuk sekadar bersantai dan mengobrol dengan anak tetangga, atau bahkan tidak mungkin untuk keluar rumah dan membeli obat nyamuk. Tubuh Asya memang membesar, akan tetapi waktu dalam kepalanya tidak. Ia masih merasa menjadi anak yang layak dilayani oleh orang tuanya, bahkan setelah ia telah menjadi mahasiswa di sebuah universitas ternama. Aku tahu segalanya karena aku adalah ruangan tempat ia melewatkan segala kejadian.

Segera setelah azan asar berkumandang, ibunya Asya mengambil air wudu lalu sembahyang. Setelah sembahyang ia tak lagi berdoa seperti dulu, agar anaknya yang perempuan itu berubah tabiatnya dan mau keluar dan bermain dengan tetangga. Ia telah kehabisan harapan walau ia masih percaya pada Tuhan. Ia tak lagi mendoakan hal yang sama kali ini. Karena dipikirnya sudah tak ada guna.

Kudengar Asya juga mendesah dalam nafasnya, berdoa agar Tuhan menjatuhkan hujan derasnya sehingga adiknya pulang dan mengembalikan CD musiknya sehingga tak perlu disusul ke perempatan sana. Untuk apa bermain drama? Bukankah lebih asyik bermain di depan komputer dan belajar membuat animasi 3D dengan LightWave? Asya tak pernah mengerti apa yang terlintas di pikiran adiknya.

Pernah sekali Asya tidak kuliah dan karena ia jadi tak mencatat pada hari itu, ia dengan gugup datang ke rumah kawannya untuk meminjam catatannya, dan ketika ia masuk ke kamar kawannya itu, ia terkejut karena kamarnya itu penuh dengan gambar-gambar pria yang merangsang. Kawannya hanya tertawa-tawa saja ketika Asya mengungkapkan kekagetannya. Kawannya bertanya, “Apa yang kaupasang di dinding kamarmu?” Dengan terbata-bata Asya menjawab bahwa ia memasang gambar Justin Bieber. Kawannya tergelak. Ia tidak tahu yang sebenarnya bahwa yang terpajang di kamar Asya adalah gambar Stephen Hawking, kosmolog penderita kelumpuhan otot yang bahkan tak mampu tersenyum walau telah menulis karya monumental A Brief History of Time, sejarah singkat alam semesta dalam bahasa yang bersahaja.

“Semestinya anak kita menikah dalam dua atau tiga tahun ini, bukan begitu, Pap?” tanya Mama kepada ayah Asya.

Ayahnya bersendawa sambil mencungkil daging dari sate yang terselip di gigi depannya. Tanda bahwa yang dibicarakan oleh istrinya bukanlah hal yang penting lagi.

“Semestinya dalam dua atau tiga tahun ini kita sudah menimang cucu,“ istrinya mempertegas pernyataan.

Papa menanggapinya dengan malas sambil mendecakkan bibirnya, perasaannya sedang merasa tidak pas untuk berbicara mengenai hal itu.

“Bagaimana anak kita akan dewasa dan bekerja dan membangun keluarga kalau disuruh keluar rumah saja susah?” Ibunya kembali menggerutu karena merasa tak mendapat tanggapan yang diinginkan dari ayah Asya.

Ayah Asya tak menjawab, dan di antara mereka hanya ada ruang kosong yang membuat suara musik dari panggung di perempatan jalan terdengar samar-samar.

“Kita terlambat, Pap. Mestinya kita membawanya ke psikolog semenjak ia kecil, sehingga perkembangan sosialnya tidak terlanjur sukar untuk diatasi seperti sekarang.”

Ayahnya Asya memindahkan kanal televisi, dan memperhatikan berita di televisi tentang teror bom yang marak lagi.

“Kukira kita mesti banyak bersyukur, Ma. Anak kita tidaklah menyusahkan orang lain dan juga tidak pernah berbuat kejahatan yang merugikan orang lain. Anak kita hanyalah kurang bergaul. Hanya itu, lain tidak.” Ayah Asya mencoba menjawab dengan kearifannya sendiri.

Dilihatnya perbalahan panjang pada kanal televisi yang lain tentang akibat dari terorisme yang meruyak kembali di negeri ini. Sebuah perdebatan yang menguras tenaga, meletihkan.

“Anak kita adalah anak baik-baik, Ma. Itulah yang mesti kita ingat hari ini dan untuk selamanya, tugas kita adalah tetap menjaga anak kita agar tetap menjadi anak yang baik,“ Ayah Asya meneruskan.

“Tapi orang hidup mesti mampu bergaul, Pap. Karena tanpa menjalin pergaulan dengan baik dengan lingkungan sekitar kita akan disingkirkan oleh orang lain dan disudutkan.”

“Kupikir seseorang berhak untuk berbeda dengan orang lain. Menjadi berbeda bukanlah kesalahan. Menjadi berbeda itu unik dan istimewa.” Ayah Asya berusaha meredakan kecemasan yang timbul dalam diri istrinya.

“Tapi masyarakat memandang bahwa menjadi berbeda itu aneh dan gila, itulah masalahnya,” ibunya Asya menjawab dengan agak naik pitam, karena suaminya bukannya memberikan jalan keluar tapi malah membaik-baikkan keadaan yang nyata-nyata buruk.

“Aku tak pernah mendengar ada orang yang berbicara begitu di lingkungan sini,” ayah Asya menukas dengan sengit.

“Kau tak pernah tahu karena kau berangkat pagi dan pulang sore. Aku yang tiap hari di rumah dan sering mengobrol dengan para tetangga yang sering mendengar omongan yang tidak enak.”

Tanpa menunggu reaksi dari suaminya, ibunya Asya meneruskan, “Mereka bilang mengapa kita melarang Asya untuk bermain bersama dengan para tetangga semenjak kecil, apakah kita menganggap bahwa anak-anak dari keluarga lain di sini tidak layak untuk bergaul dengan anak kita?”

“Aku terkejut mendengar omongan semacam itu. Kubilang kami tak pernah melarang anak kami bergaul dengan anak para tetangga. Justru kami ingin agar anak kami punya pergaulan yang luas.”

Mereka tercengang, dan balik bertanya, “Lalu mengapa Si Asya tak pernah keluar rumah?”

“Kubilang karena Asya inginnya memang begitu, ia lebih betah berada di rumah ketimbang di luar rumah.”

“Mereka tersenyum-senyum menanggapinya, dan aku merasa tak enak lalu aku pulang dengan pikiran yang penuh dengan kata-kata yang tak bisa kuungkapkan saat itu.”

Ayah Asya kembali mencungkil daging di giginya lalu berdecak. Ia mencoba meredakan keadaan dengan berkata, “Sudahlah, jangan pedulikan omongan tetangga. Mereka cuma tukang gosip.”

Asya mendengar semuanya dari kamarnya. Diam-diam ia mencatatnya dalam buku hariannya.

“Kamarku tersayang, aku tak ingin jadi dewasa, karena menjadi dewasa berarti membatasi dunia khayali dengan realitas,” begitu kata Asya suatu malam.

“Aku ingin tetap jadi kanak-kanak yang imajinasinya tiada terbatas.”

“Kau lihatlah ini,” katanya menunjukkan kepadaku hasil karya komiknya yang dibuatnya dengan program Manga Studio. “Bagus, tidak?”

Aku mengangguk dan tersenyum.

“Aku berencana untuk menerapkan desain komik pada rancangan web-ku. Agar aku dapat memadukan masa kecil dengan apa yang kupelajari di perkuliahanku,” ia meneruskan. “Namun sayangnya belum ada yang tertarik akan rencanaku itu.”
Ia terdiam sesaat, lalu, “Apakah menurutmu hal itu adalah rencana yang hebat?”

Aku mengangguk dan tersenyum.

“Jika telah lulus nanti, aku akan mendirikan situs kartun Indonesia, agar anak-anak punya bacaan yang cocok untuk usia mereka. Aku juga berencana mendirikan Toon Tube, situs video kartun Indonesia.”

“Bukankah itu adalah ide yang baik?” tanyanya kepadaku.

Aku lagi-lagi mengangguk dan tersenyum.

“Tapi tahukah kau, beberapa kawanku menertawakan ideku. Mereka bilang ideku konyol dan tidak dewasa. Mereka bilang bahwa merancang web haruslah berdasarkan kebutuhan pelanggan bukan hasil pemaksaan dari pendesainnya.”

“Aku berkata bahwa menjadi seorang idealis memang tidak mudah, penuh dengan tantangan, dan tidak seharusnya kita tunduk pada bayaran dan mengorbankan hal ideal yang kita punya.”

“Pendeknya, idealisme tak boleh tunduk pada uang,” kata Asya meneruskan.
Aku berkata, “Kamu benar-benar hebat.”

Tiba-tiba ada suara di sekitar pintu, Asya berwaspada dan berbisik, “Itu pasti Ibu, ia curiga jika aku berbicara dengan engkau. Disangkanya aku berbicara sendirian.”
Ia lalu menaruh telunjuknya di bibir, agar kami tidak bersuara.

Sebagai pembaca, ada hal lain yang harus kautahu. Aku berjendela, dan dari jendelaku itu dapat terlihat gang yang panjang dan berbatu tempat anak-anak kecil bermain dengan sesamanya. Di luar ruangku, yang ia lihat lewat jendelaku itu, waktu bekerja dengan tangannya yang gesit. Kawan-kawannya yang dulu sering ia lihat lewat jendelaku itu, kini tak pernah lagi bermain galasin, lompat karet, atau kelereng. Tapi sekarang telah sering berdua-dua dengan pasangannya. Berjalan beriringan untuk pergi ke tempat hiburan. Adik kelasnya kini telah masing-masing duduk di SMA atau SMK; sering ia lihat pergi bersekolah jika pagi telah datang. Tentu saja mereka juga tak lagi main galasin, lompat karet, atau kelereng lagi, seperti kakak kelasnya.

Bunga krisan di dalam tiga pot yang dahulu seringkali memunculkan imaji yang segar kini telah berganti dengan begonia dan aster yang berwarna menawan. Juga bunga pukul empat yang selalu mekar dengan presisi pada waktunya.
Jika malam datang dan mentari pergi, ia lihat gang itu ramai dengan anak-anak lelaki yang mengobrol dan bernyanyi mendendangkan lagu-lagu yang sedang pada puncaknya. Ia kadang-kadang mematikan iTunes di kamarnya jika ia mendengar lagu yang disukainya dinyanyikan oleh anak-anak tanggung itu.

Dan jika tengah malam telah lewat, tibalah pemuda-pemuda konyol mengambil giliran, bernyanyi dengan suara serak, menenggak minuman beralkohol, dan berbicara dengan gaya gurau kuda yang kasar. Mereka akan langsung bubar jika keamanan kelurahan datang dan menyita minuman keras yang mereka punya.

Oleh karena itu, bagi Asya, jendelaku itu adalah jendela ajaib. ia tak pernah keluar rumah untuk urusan apa pun kecuali jika itu adalah urusan kuliah dan belajar. Namun dengan melihat jendelaku itu, ia dapat melihat waktu berjalan pada orang-orang di luar sana. Sementara ia sendiri, melewati dua puluh tahun, berkurung diri dalam kamar, dengan pikiran yang tak terjamah oleh waktu. Pikirannya tetap asli dan murni, tak terkotori oleh pergaulan yang salah.

Jika dipikir lebih mendalam, bukankah itu juga sebuah anugerah? Mengapa ibunya tak berpikir sama dengan dirinya dan harus tunduk terhadap omongan orang lain?

Jika waktu tak berjalan pada diri kita, kita akan tetap seperti kanak-kanak, yang polos, tulus, dan tak mengenal dosa. Namun jika waktu melesat membawa kita, kita akan terbawa menjadi diri yang mencoba segala hal karena pengaruh nafsu. Asya tahu ia tak pernah berubah tabiatnya, namun ia juga tahu bahwa segala jin, gandaruwo, dan peri-peri penggoda akan membayangi dirinya jika ia keluar dari diriku dan menjadi manusia biasa.

Karena itu kubiarkan ia tetap hidup dalam ruang dalam diriku, membeku tanpa masa. Dan jika ia ingin melihat bagaimana liarnya dunia luar, ia cukup hanya melihat lewat tingkap dalam tubuhku, melalui aku, Sang Jendela Waktu.