Hanya Asya yang tak pernah jadi dewasa dan lupa. Hanya dia yang setia dengan masa kecilnya. Hanya dia yang tetap setia untuk tinggal dalam aku, kamarnya yang tak tersentuh putaran waktu.
“Mengapa kau tak mengambil makan di dapur, Asya? Ini sudah sore dan kau belum makan siang,” ibunya menegurnya, karena sejak tadi ia masih saja asyik dengan komputernya.
Asya menggeliat dan tak langsung menjawab. Tapi ia kemudian berkata, “Nanti saja, Ma. Asya belum mau makan.”
Ibunya menarik napas panjang dan menuju ke dapur, mengambil secentong nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Kemudian ia kembali ke kamar, menyerahkan makan siang kepadanya. Ibunya tak habis pikir, kapan anaknya itu akan jadi dewasa. Bahkan untuk makan teratur saja ia harus disuruh.
“Mama, apakah Mama tahu di mana CD musik yang kemarin papa belikan untuk Asya?” tanya Asya kepada Ibunya.
“CD? CD apa?” ibunya mengernyitkan dahi. Tapi kemudian ia seperti teringat sesuatu dan berkata, “Oh, ya, mama rasa adikmu meminjamnya kemarin, entahlah ia bawa ke mana. Mama tidak tahu kalau CD itu milikmu.”
“Apa? Dibawa? CD itu kan baru Asya beli dan belum Asya setel!”
“Tadi adikmu bilang akan gladi resik drama di panggung di perempatan jalan sana. Mungkin CD-mu dipinjam sebagai penghias musiknya,” timbal mamanya.
“Tapi Asya ingin menyetelnya sekarang, Mama! Tolonglah kasih tahu dia agar mengembalikannya sekarang juga,” kata Asya dengan sedikit emosi tapi manja.
“Mama rasa Asya bisa mengambilnya sendiri di panggung di perempatan jalan sana, “ Mama sengaja menyuruh Asya agar keluar dari kamarnya.
Tapi waktu tak bergerak di dalam diriku, dan demikian juga tumbuh-kembang anak manusia yang berada di dalam diriku. Asya masih seperti dua puluh tahun yang lalu; akan sangat sukar untuk sekadar bersantai dan mengobrol dengan anak tetangga, atau bahkan tidak mungkin untuk keluar rumah dan membeli obat nyamuk. Tubuh Asya memang membesar, akan tetapi waktu dalam kepalanya tidak. Ia masih merasa menjadi anak yang layak dilayani oleh orang tuanya, bahkan setelah ia telah menjadi mahasiswa di sebuah universitas ternama. Aku tahu segalanya karena aku adalah ruangan tempat ia melewatkan segala kejadian.
Segera setelah azan asar berkumandang, ibunya Asya mengambil air wudu lalu sembahyang. Setelah sembahyang ia tak lagi berdoa seperti dulu, agar anaknya yang perempuan itu berubah tabiatnya dan mau keluar dan bermain dengan tetangga. Ia telah kehabisan harapan walau ia masih percaya pada Tuhan. Ia tak lagi mendoakan hal yang sama kali ini. Karena dipikirnya sudah tak ada guna.
Kudengar Asya juga mendesah dalam nafasnya, berdoa agar Tuhan menjatuhkan hujan derasnya sehingga adiknya pulang dan mengembalikan CD musiknya sehingga tak perlu disusul ke perempatan sana. Untuk apa bermain drama? Bukankah lebih asyik bermain di depan komputer dan belajar membuat animasi 3D dengan LightWave? Asya tak pernah mengerti apa yang terlintas di pikiran adiknya.
Pernah sekali Asya tidak kuliah dan karena ia jadi tak mencatat pada hari itu, ia dengan gugup datang ke rumah kawannya untuk meminjam catatannya, dan ketika ia masuk ke kamar kawannya itu, ia terkejut karena kamarnya itu penuh dengan gambar-gambar pria yang merangsang. Kawannya hanya tertawa-tawa saja ketika Asya mengungkapkan kekagetannya. Kawannya bertanya, “Apa yang kaupasang di dinding kamarmu?” Dengan terbata-bata Asya menjawab bahwa ia memasang gambar Justin Bieber. Kawannya tergelak. Ia tidak tahu yang sebenarnya bahwa yang terpajang di kamar Asya adalah gambar Stephen Hawking, kosmolog penderita kelumpuhan otot yang bahkan tak mampu tersenyum walau telah menulis karya monumental A Brief History of Time, sejarah singkat alam semesta dalam bahasa yang bersahaja.
“Semestinya anak kita menikah dalam dua atau tiga tahun ini, bukan begitu, Pap?” tanya Mama kepada ayah Asya.
Ayahnya bersendawa sambil mencungkil daging dari sate yang terselip di gigi depannya. Tanda bahwa yang dibicarakan oleh istrinya bukanlah hal yang penting lagi.
“Semestinya dalam dua atau tiga tahun ini kita sudah menimang cucu,“ istrinya mempertegas pernyataan.
Papa menanggapinya dengan malas sambil mendecakkan bibirnya, perasaannya sedang merasa tidak pas untuk berbicara mengenai hal itu.
“Bagaimana anak kita akan dewasa dan bekerja dan membangun keluarga kalau disuruh keluar rumah saja susah?” Ibunya kembali menggerutu karena merasa tak mendapat tanggapan yang diinginkan dari ayah Asya.
Ayah Asya tak menjawab, dan di antara mereka hanya ada ruang kosong yang membuat suara musik dari panggung di perempatan jalan terdengar samar-samar.
“Kita terlambat, Pap. Mestinya kita membawanya ke psikolog semenjak ia kecil, sehingga perkembangan sosialnya tidak terlanjur sukar untuk diatasi seperti sekarang.”
Ayahnya Asya memindahkan kanal televisi, dan memperhatikan berita di televisi tentang teror bom yang marak lagi.
“Kukira kita mesti banyak bersyukur, Ma. Anak kita tidaklah menyusahkan orang lain dan juga tidak pernah berbuat kejahatan yang merugikan orang lain. Anak kita hanyalah kurang bergaul. Hanya itu, lain tidak.” Ayah Asya mencoba menjawab dengan kearifannya sendiri.
Dilihatnya perbalahan panjang pada kanal televisi yang lain tentang akibat dari terorisme yang meruyak kembali di negeri ini. Sebuah perdebatan yang menguras tenaga, meletihkan.
“Anak kita adalah anak baik-baik, Ma. Itulah yang mesti kita ingat hari ini dan untuk selamanya, tugas kita adalah tetap menjaga anak kita agar tetap menjadi anak yang baik,“ Ayah Asya meneruskan.
“Tapi orang hidup mesti mampu bergaul, Pap. Karena tanpa menjalin pergaulan dengan baik dengan lingkungan sekitar kita akan disingkirkan oleh orang lain dan disudutkan.”
“Kupikir seseorang berhak untuk berbeda dengan orang lain. Menjadi berbeda bukanlah kesalahan. Menjadi berbeda itu unik dan istimewa.” Ayah Asya berusaha meredakan kecemasan yang timbul dalam diri istrinya.
“Tapi masyarakat memandang bahwa menjadi berbeda itu aneh dan gila, itulah masalahnya,” ibunya Asya menjawab dengan agak naik pitam, karena suaminya bukannya memberikan jalan keluar tapi malah membaik-baikkan keadaan yang nyata-nyata buruk.
“Aku tak pernah mendengar ada orang yang berbicara begitu di lingkungan sini,” ayah Asya menukas dengan sengit.
“Kau tak pernah tahu karena kau berangkat pagi dan pulang sore. Aku yang tiap hari di rumah dan sering mengobrol dengan para tetangga yang sering mendengar omongan yang tidak enak.”
Tanpa menunggu reaksi dari suaminya, ibunya Asya meneruskan, “Mereka bilang mengapa kita melarang Asya untuk bermain bersama dengan para tetangga semenjak kecil, apakah kita menganggap bahwa anak-anak dari keluarga lain di sini tidak layak untuk bergaul dengan anak kita?”
“Aku terkejut mendengar omongan semacam itu. Kubilang kami tak pernah melarang anak kami bergaul dengan anak para tetangga. Justru kami ingin agar anak kami punya pergaulan yang luas.”
Mereka tercengang, dan balik bertanya, “Lalu mengapa Si Asya tak pernah keluar rumah?”
“Kubilang karena Asya inginnya memang begitu, ia lebih betah berada di rumah ketimbang di luar rumah.”
“Mereka tersenyum-senyum menanggapinya, dan aku merasa tak enak lalu aku pulang dengan pikiran yang penuh dengan kata-kata yang tak bisa kuungkapkan saat itu.”
Ayah Asya kembali mencungkil daging di giginya lalu berdecak. Ia mencoba meredakan keadaan dengan berkata, “Sudahlah, jangan pedulikan omongan tetangga. Mereka cuma tukang gosip.”
Asya mendengar semuanya dari kamarnya. Diam-diam ia mencatatnya dalam buku hariannya.
“Kamarku tersayang, aku tak ingin jadi dewasa, karena menjadi dewasa berarti membatasi dunia khayali dengan realitas,” begitu kata Asya suatu malam.
“Aku ingin tetap jadi kanak-kanak yang imajinasinya tiada terbatas.”
“Kau lihatlah ini,” katanya menunjukkan kepadaku hasil karya komiknya yang dibuatnya dengan program Manga Studio. “Bagus, tidak?”
Aku mengangguk dan tersenyum.
“Aku berencana untuk menerapkan desain komik pada rancangan web-ku. Agar aku dapat memadukan masa kecil dengan apa yang kupelajari di perkuliahanku,” ia meneruskan. “Namun sayangnya belum ada yang tertarik akan rencanaku itu.”
Ia terdiam sesaat, lalu, “Apakah menurutmu hal itu adalah rencana yang hebat?”
Aku mengangguk dan tersenyum.
“Jika telah lulus nanti, aku akan mendirikan situs kartun Indonesia, agar anak-anak punya bacaan yang cocok untuk usia mereka. Aku juga berencana mendirikan Toon Tube, situs video kartun Indonesia.”
“Bukankah itu adalah ide yang baik?” tanyanya kepadaku.
Aku lagi-lagi mengangguk dan tersenyum.
“Tapi tahukah kau, beberapa kawanku menertawakan ideku. Mereka bilang ideku konyol dan tidak dewasa. Mereka bilang bahwa merancang web haruslah berdasarkan kebutuhan pelanggan bukan hasil pemaksaan dari pendesainnya.”
“Aku berkata bahwa menjadi seorang idealis memang tidak mudah, penuh dengan tantangan, dan tidak seharusnya kita tunduk pada bayaran dan mengorbankan hal ideal yang kita punya.”
“Pendeknya, idealisme tak boleh tunduk pada uang,” kata Asya meneruskan.
Aku berkata, “Kamu benar-benar hebat.”
Tiba-tiba ada suara di sekitar pintu, Asya berwaspada dan berbisik, “Itu pasti Ibu, ia curiga jika aku berbicara dengan engkau. Disangkanya aku berbicara sendirian.”
Ia lalu menaruh telunjuknya di bibir, agar kami tidak bersuara.
Sebagai pembaca, ada hal lain yang harus kautahu. Aku berjendela, dan dari jendelaku itu dapat terlihat gang yang panjang dan berbatu tempat anak-anak kecil bermain dengan sesamanya. Di luar ruangku, yang ia lihat lewat jendelaku itu, waktu bekerja dengan tangannya yang gesit. Kawan-kawannya yang dulu sering ia lihat lewat jendelaku itu, kini tak pernah lagi bermain galasin, lompat karet, atau kelereng. Tapi sekarang telah sering berdua-dua dengan pasangannya. Berjalan beriringan untuk pergi ke tempat hiburan. Adik kelasnya kini telah masing-masing duduk di SMA atau SMK; sering ia lihat pergi bersekolah jika pagi telah datang. Tentu saja mereka juga tak lagi main galasin, lompat karet, atau kelereng lagi, seperti kakak kelasnya.
Bunga krisan di dalam tiga pot yang dahulu seringkali memunculkan imaji yang segar kini telah berganti dengan begonia dan aster yang berwarna menawan. Juga bunga pukul empat yang selalu mekar dengan presisi pada waktunya.
Jika malam datang dan mentari pergi, ia lihat gang itu ramai dengan anak-anak lelaki yang mengobrol dan bernyanyi mendendangkan lagu-lagu yang sedang pada puncaknya. Ia kadang-kadang mematikan iTunes di kamarnya jika ia mendengar lagu yang disukainya dinyanyikan oleh anak-anak tanggung itu.
Dan jika tengah malam telah lewat, tibalah pemuda-pemuda konyol mengambil giliran, bernyanyi dengan suara serak, menenggak minuman beralkohol, dan berbicara dengan gaya gurau kuda yang kasar. Mereka akan langsung bubar jika keamanan kelurahan datang dan menyita minuman keras yang mereka punya.
Oleh karena itu, bagi Asya, jendelaku itu adalah jendela ajaib. ia tak pernah keluar rumah untuk urusan apa pun kecuali jika itu adalah urusan kuliah dan belajar. Namun dengan melihat jendelaku itu, ia dapat melihat waktu berjalan pada orang-orang di luar sana. Sementara ia sendiri, melewati dua puluh tahun, berkurung diri dalam kamar, dengan pikiran yang tak terjamah oleh waktu. Pikirannya tetap asli dan murni, tak terkotori oleh pergaulan yang salah.
Jika dipikir lebih mendalam, bukankah itu juga sebuah anugerah? Mengapa ibunya tak berpikir sama dengan dirinya dan harus tunduk terhadap omongan orang lain?
Jika waktu tak berjalan pada diri kita, kita akan tetap seperti kanak-kanak, yang polos, tulus, dan tak mengenal dosa. Namun jika waktu melesat membawa kita, kita akan terbawa menjadi diri yang mencoba segala hal karena pengaruh nafsu. Asya tahu ia tak pernah berubah tabiatnya, namun ia juga tahu bahwa segala jin, gandaruwo, dan peri-peri penggoda akan membayangi dirinya jika ia keluar dari diriku dan menjadi manusia biasa.
Karena itu kubiarkan ia tetap hidup dalam ruang dalam diriku, membeku tanpa masa. Dan jika ia ingin melihat bagaimana liarnya dunia luar, ia cukup hanya melihat lewat tingkap dalam tubuhku, melalui aku, Sang Jendela Waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar