Angin dan bumi kini tiada berkawan lagi.
Rumah-rumah dan gubuk-gubuk hancur diamuk puting beliung. Orang-orang bertanya
ada apakah gerangan. Mengapakah tabiat alam berubah menjadi begitu kasar dan
mengerikan sehingga mengganggu ketenangan mereka yang seharusnya mereka alami
pada malam ini.
Akan tetapi buku-buku lusuh pinjaman dari
perpustakaan sekolah anak-anak mereka mengajarkan bahwa alam selalu begitu,
kadang tenang, ramah, menyenangkan, lalu berubah menjadi angkara yang penuh
dengan amarah, mengamuk, mengobrak-ngabrik, menghancurkan segala. Tsunami,
taifun, dan tornado hanyalah tiga di antaranya. Lainnya, untuk menyebut dua
saja, volkano dan gempa bumi, adalah penghancur maha dahsyat yang kerap kali
meniadakan sejarah dan peradaban manusia.
Aku pergi ke tanah lapang bersama
manusia-manusia yang bahkan tak sempat melindungi diri mereka dengan tudung
padahal hujan lebat sekali tercurah, bersama angin yang meliukkan pohon-pohon,
dan menumbangkan beberapa di antaranya. Sudah menjadi fitrah, manusia tak ingat
jika bahagia dan menjerit meminta pertolongan Tuhan jika ditimpa bahala; itulah
yang kami lakukan pada saat ini, menjerit, istigfar, mengingat-ingat dosa, dan
memohon agar Sang Ilah menghentikan petaka yang datang. “Tiada kekuatan selain
Engkau, Ya, Allah. Engkaulah Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih,” kataku berdoa
dalam lubuk hati.
Orang-orang berkerumun di lapangan sepakbola
yang kelak akan digusur untuk menjadi mal itu dengan berbagai zikir dan
istigfar. Mereka meminta dan menjerit dalam hati karena mereka baru saja
menyadari betapa Allah sangat besar kuasanya untuk menimpakan apa saja jika Ia
berkehendak.
Angin begitu hebatnya bertiup sehingga aku
berkata dalam hati, “Inilah akhir hidupku, mungkin takkan dapat lagi aku
mencari uang untuk anak-anakku, yang dua masih sekolah dan yang terakhir masih
berusia empat tahun. Istriku yang di kampung takkan pernah lagi kembali ke
pangkuanku, karena aku memang akan pupus dari muka bumi. Rumahku akan berganti
dari rumah petak menjadi pusara yang tertutup dengan tanah.”
Lalu terlintas dalam benakku,”Mungkin sekali
aku akan dikuburkan secara massal bersama banyak orang lain. Tak ada nisan
bertulisan di tempat kepalaku terbujur, yang ada hanyalah satu pahatan untuk
semua pada keramik yang kusam yang berbunyi: Korban Puting Beliung Tanah Tinggi: 13 April 2011”.
Aku memeluk anakku erat-erat dengan kedua
belah tanganku. Tak ada seorang pun dari anakku itu yang mengenakan jaket untuk
melindungi mereka dari angin dan bias rencik hujan yang begitu deras. Anakku
yang paling kecil menangis keras-keras dan berseru, “Ayah…! Ayah…! Aku takut
….!” Ia menjerit dan mendekap kakiku erat-erat. Aku menjangkau badannya dan
mengaisnya di pinggangku, mendekapnya ke badanku. Ia meraung-raung. Tak ada
lagi rumah tersisa di daerah tempat kami tinggal, yang ada hanyalah puing-puing
yang berserakan dan itu pun masih terseret-seret kena amuk angin yang tak mau
tahu akan doa yang kami panjatkan.
Angin terlampau keras bagi tubuh kami
sehingga kami hampir terbawa olehnya. Kami pun berjongkok dengan menutupi wajah
kami yang basah kena simbah air hujan. Orang-orang makin histeris karena hidup
mereka telah lantis. Hanya dalam hitungan menit.
Kulihat langit, rembulan tak berkutik
menghadapi awan-awan yang demikian pekat dan lekat dengan uap air. Angin semakin
menjadi-jadi, di langit dan di bumi ia berlari lesat melabrak apa saja yang
ada. Anakku mulai menjerit, “Ibu… Ibu …, aku ingin ke Ibu ….”
Anakku yang nomor dua menggigil karena udara
menjadi dingin bukan kepalang. Anakku yang sulung menegadahkan tangannya dan
berdoa dengan bisik yang tak dapat kudengar dengan jelas karena suara angin
yang berderau-derau di telingaku. Tetanggaku yang sudah lupa dengan auratnya
menangis sesenggukan sambil menjerit, “Ya, Gusti! Kula Nyuwun Pangampura![1]”
Di kejauhan nampak Bang Asim menguak-nguak
papan-papan rumahnya yang roboh. Kiranya ia mencari sepupunya yang tertimpa
dinding rumahnya. Ia berhasil menemukan, akan tetapi sebuah lembaran seng
terbawa angin, dan kayu yang ada di pinggirannya menghantam pelipisnya, Bang Asim
pun nampak tak bergerak lagi. Tak ada dari kami seorang pun yang mencoba
menolongnya, karena angin masih terlampau keras dan semua harus berpikir akan
keselamatan dirinya dibandingkan orang lain.
Malam semakin dalu dan kami semua masih
menunggu akan datangnya ampunan Tuhan. Malam itu, di tanah lapang yang basah,
kami berserah diri pada kuasa-Nya. Kami memang berbeda raga, dan selama ini
terkadang kami bertikai karena perkara sepele. Namun malam itu, kami menyatukan
hati untuk memohon kasih-Nya ….
* * *
“Bang Pur, cobalah kau pergi ke tempat
pemeriksaan di sana, cek kondisimu,” kata Yadi kepadaku.
“Tidak usah, aku baik-baik saja,” jawabku
sambil merasakan demam yang membuat semua badanku terasa dingin.
Yadi memegang dahiku. “Apa kau tak rasakan
badanmu itu, panas begini.”
“Tidak, aku tidak apa-apa,” kataku lagi-lagi
menampik.
“Janganlah seperti Bang Asim itu …, dia
meninggal karena menolak makan dan minum …,” lanjutnya. “Janganlah kejadian
buruk membuat kita patah semangat untuk hidup,” ia meneruskan. “Kehilangan
sepupu seperti Bang Asim itu jangan membuat kita enggan meneruskan hidup.”
Aku berkata dalam hati, Asim terguncang dan
bersedih sebab uang tabungan hasil berdagangnya takkan mungkin dikembalikan
oleh sepupunya itu, sebab ia sudah meninggal.
Yadi rupanya bosan menggumbuki aku, lalu ia
pergi sambil berkata, “Periksa Bang! Mumpung gratis!”
Aku tak peduli padanya. Ia melihat lagi
kepadaku di sudut jalan. Tapi aku tak peduli.
Tempat pengungsian ini telah menjadi
terlampau kumuh untuk ditinggali oleh anak-anakku. Sampah berserakan di
mana-mana. Dan air yang tergenang mungkin bisa menyebabkan nyamuk malaria atau
demam berdarah bersarang di dalamnya. Jumlah relawan terlampau sedikit. Tak ada
yang dari luar negeri, karena ini adalah bencana lokal, dan bukan bencana
nasional, apalagi internasional.
Burung alap-alap tampak berputar-putar di
atas sana. Apakah mereka mencium bau kematian dari tempat ini? Pohon-pohon yang
tumbang telah ditetak dengan kapak dan disingkirkan dari jalanan. Beberapa
keluarga memanfaatkan kayunya untuk membangun rumah mereka yang baru.
Terlihat, anak keduaku berjalan di kejauhan
di antara tenda penampungan yang berbaris-baris, ia bersama seseorang yang
kukenal dalam pekerjaanku. Aku menggigil sambil menghela napas. Ia lagi. Apakah
akan kulanjutkan pekerjaanku itu? Setelah semua ini…?
Darahku tiba-tiba berdesir, setelah istriku
meninggalkanku karena pekerjaan ini, dan kini puting-beliung ini. Aku
semestinya sadar dan bertaubat.
Tapi mereka semakin dekat. Apakah yang akan
kukatakan kepadanya?, kataku kepada diri sendiri.
Jantungku berdetak keras karena ingatan akan
Tuhan bertikai dengan suara akan kebutuhan perut anak-anakku. Aku hanya lulusan
SMP, apa lagi yang bisa kukerjakan selain pekerjaanku itu?
Aku tak dapat memutuskan dan tubuhku terasa
lemah lunglai karena pertikaian dalam batin yang tak dapat kudamaikan. Mereka
hampir tiba di depanku.
Aku berdoa, “Ya, Allah, kuatkanlah imanku
untuk menahan godaan dunia.”
Ia nampak tersenyum dari jarak sekitar dua
puluh langkah dariku, dan kukira aku dapat melihat syaitan pada senyumannya
itu.
Anakku berseru ketika telah cukup dekat,
“Ayah, ini Wak Ayi ke sini, ingin memberi Ayah pekerjaan.”
Di tengah lunglainya tenagaku, ada satu
suara yang bangkit dan mulai menguasai hatiku. Aku harus mulai menjadi manusia
yang lurus mulai saat ini. Aku tak ingin menjadi manusia yang degil terhadap
Allah lagi. Aku akan mulai menata hidupku sehingga anak-anakku punya contoh
yang baik. Aku akan menolak pekerjaan itu. Aku harus tegas terhadapnya!
“Pur, bagaimana kabarmu? Kata anakmu kau
demam?”
Aku tak menjawab sepatah kata.
“Jika kau ingin berobat, aku bisa
mengantarmu. Bayar tak masalah, biar kutanggung.”
Aku tak menjawab.
“Pur, janganlah bermuram durja. Tak baik
untuk kesehatanmu. Aku tahu rumahmu itu, walaupun sederhana, kaubangun dengan
susah-payah. Tapi sudahlah, semuanya sudah berlalu. Kita bangun lagi rumah yang
baru. Lagipula kau harus memikirkan anak-anakmu, mereka sudah mulai besar-besar
dan mulai butuh biaya banyak.”
Aku berusaha mengatupkan mulutku serapat-rapatnya
agar tak menimpali apa yang ia sampaikan. Tapi kemudian:
“Anakmu sungguh pintar-pintar. Sayang jika
mereka sampai putus sekolah. Kau pasti menyimpan harapan yang besar terhadap
mereka. Kau pastinya sangat menyayangi mereka, bukan?” katanya membujuk.
Aku hanya diam sambil menatap sekilas
matanya yang penuh siasat.
“Ini uang untukmu. Kutunggu kau di tempat
biasa. Komputer untuk merekap togel kita tak hancur oleh angin puting beliung.
Tak ada dinding atau atap yang menghancurkannya. Datanglah kau ke rumahku
sekitar tiga hari lagi, setelah kau baikan.”
Aku tercenung menggenggam amplop yang tebal.
Tanganku gemetar.
“Ingat, Pur. Kau mesti jaga kesehatan, agar
bisa kerja lagi denganku.”
Ia berlalu dan berkata sekali lagi, “Ingat,
tiga hari mendatang kau datang ke rumahku. Jangan lupa!”
Ia pergi dan aku menatapnya hingga ia
menghilang di kejauhan. Badanku menggigil. Kurasa demamku semakin tinggi. Dapat
kurasakan malaikat dan Iblis bertikai dalam hatiku. Timbul keinginan untuk
memanggil Wak Ayi untuk mengembalikan uangnya. Tapi suaraku tersekat di
tenggorokan.
Aku terhenyak sejenak. Aku menatap anakku
yang paling kecil yang sedang tertidur. Kemudian inilah yang kukatakan kepada
anakku yang nomor dua, yang tadi mengantarkan Wak Ayi, “Nak, marilah kita antar
adikmu itu ke ahli jiwa anak-anak. Ia nampaknya terguncang karena peristiwa
angin puting beliung lima hari yang lalu itu. Dan… mungkin juga… kita dapat
menjemput ibumu di Yogya esok hari untuk datang dan sekadar memangkunya. Juga
panggilah kakakmu, suruh ia beli makanan di warung yang sudah buka untuk makan
kita siang ini, karena bantuan dari sukarelawan itu hanya mi instan yang
membuatku tak bertambah baik”
Aku memberinya selembar lima puluh ribu. Dan
ia berlari ke arah kakaknya yang sedang bermain di air payau, sambil merajuk
agar dibelikan coklat kesukaannya.
Aku merapatkan kain sarungku, karena udara
yang masih mendung terasa sangat dingin di tubuhku. Jaketku yang kupakai juga
rupanya tak lagi mampu menahan hawa yang tidak bersahabat ini. Aku rebahan
dalam tenda di samping anakku yang sedang terlelap dengan masih menggenggam
botol susunya. Aku mencium kening anakku dan berkata lirih, “Nak, semoga jika
kau besar tak meniru kekonyolan ayahmu ini.”
Angin berhembus mendayu, udara dingin
menyelusup lewat sela-sela pakaianku; membuatku makin merapatkan kain sarungku.
Azan asar dari musala darurat berkumandang.
Dan dapat kurasakan, tubuhku semakin
menggigil saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar