Pada renyai gerimis yang jatuh, yang melayang sejenak terbawa
angin, lalu mencapai tanah yang likat dengan debu, Samad berharap sangat, agar
cuaca tak menderas seperti seminggu yang lalu. Seperti waktu ia duduk bersila
di muka Toko Terang Jaya; saat tak ada seorang pun yang memberinya uang;
padahal ia duduk semenjak hari belum hujan di saat pagi hingga azan asar
berkumandang dan menyelusup di lambungnya yang lapar. Untungnya waktu itu A
Lin, sang juragan toko itu, memberinya nasi bungkus dengan gorengan tempe di
dalamnya, yang hanya ia makan sebagian dan sebagian lainnya ia bawa pulang.
“Pergilah jauh-jauh, jangan biarkan badan dekilmu itu membuat
orang yang akan belanja di tokoku menjadi membatalkan keinginannya,” kata sang
pemilik warung nasi, jaraknya sekitar lima toko dari tokonya A Lin,
mengusirnya. “Kota ini luas, mengapakah kau hanya duduk di depan warungku
saja?” Kata-katanya semakin menyakiti. “Ayoh, pergi sana! Pergi jauh-jauh.
Jangan dekat-dekat sini!” sang pemilik warung nasi berkata sambil bertolak
pinggang.
Hatinya benar-benar perih tiada terperi. Di wilayah pasar ini
yang ramah kepadanya hanyalah A Lin. Walaupun ia seringkali tega karena tidak
mau membagi apa yang dia dapatkan dari orang-orang yang membeli perangkat
elektronik di Toko Terang Jaya-nya, namun ia tak pernah mengusirnya. Tak pernah
kasar seperti pemilik-pemilik toko yang lainnya.
Samad meraih tongkatnya, dan dengan berjalan tertatih-tatih,
gerimis tipis ditembusnya. Ia berpindah ke dekat gerobak martabak Kang Ahdi.
Kang Ahdi melirik dengan sinis dengan sudut matanya. Tapi ia bergeming.
Dagangan Kang Ahdi laris, karena itu ia berharap akan ada satu atau dua
pembelinya yang memberinya uang barang sedikit. Ia bersimpuh di tanah yang
tercecah oleh basah hujan rimis. Orang-orang menatapnya. Ia berkata dalam
hatinya bahwa ia tak boleh putus asa dan harus terus berharap, karena
harapanlah yang membuatnya terus hidup.
“Berilah saya uang, Bu. Saya belum makan semenjak kemarin,”
katanya memelas. Si ibu melengos dan berlalu begitu saja. Dalam pikiran, Samad
berkata bahwa alangkah angkuhnya orang-orang terhadap orang yang tak berpunya.
Dilihatnya si ibu itu lalu naik ojek, mungkin untuk pulang ke rumahnya. Bahkan
ia tak sekalipun menatap ke tempat Samad bersimpuh, tanda bahwa kata-katanya
sama sekali tak menyentuh hatinya.
Pada pembeli berikutnya ia kembali berkata dengan lirih,
“Berilah sebagian hartamu pada orang fakir, ya Bapak. Karena kesombongan
sebesar zarah-pun akan membuat Bapak jauh dari surga.”
Bapak itu menatapnya dengan tajam,”Apa maksudmu dengan jauh
dari surga, hah? Kau sendiri mengapa sehari-hari cuma mengharapkan belas
kasihan orang lain?,” ia berkata menusuk hati. “Bantulah orang lain berdagang,
jangan cuma meminta-minta,” tegasnya lagi.
Samad cuma terdiam. Ia membatin, mungkin bapak itu benar, ia
semestinya bekerja selayaknya orang lain. Tapi ia tak pernah lulus dari
sekolah, bahkan ia tak bisa membaca huruf Latin. Ia putus sekolah semenjak
kecil, karena sejak umur tujuh tahun harus membantu orang tuanya menggarap
sawah Wa Haji yang terletak di sebelah timur desanya. Ia juga tak fasih
hitung-menghitung, ia sangat takut melakukan kesalahan jika membantu orang lain
untuk berdagang. Pendeknya, Samad merasa bahwa ia hanyalah orang yang bodoh.
Orang yang bodoh yang hanya bisa mengemis.
Yang ia bisa hanyalah membaca huruf Arab, karena ia pernah
mengaji beberapa tahun di mesjid di kampungnya. Ia hanya tahu pengetahuan
agama, itu pun serba sedikit. Lainnya ia tak tahu.
Sambil bersimpuh Samad merenungi nasibnya yang malang.
Pikirannya berandai-andai. Andai aku
adalah anak orang kaya dan bukan anak seorang buruh tani... Andai semua manusia
punya rasa belas kasihan terhadap sesama... Andai aku adalah seorang yang tegap
dan kuat dan bukan seorang yang kakinya lumpuh... Tapi yang paling
mengganggu pikirannya adalah kejadian di masa lalu yang mengubah nasibnya
dengan tiba-tiba....
Pada suatu hari ia sedang pulang dari kota, naik angkutan
desa yang menuju ke kampungnya. Ia duduk di depan sambil asyik mengobrol dengan
supirnya. Sang Supir, yang bernama Kasim, adalah kawan lamanya semasa kecil
dulu. Ia menikah dengan orang kota dan kini tinggal dekat alun-alun pusat kota.
Kasim berbelok di kota kecamatan, namun belum sempurna ia
membelok, mesin kendaraan mati. Kasim mencoba menstarternya beberapa kali namun
gagal. Akhirnya ia meminta bantuan Samad, untuk mencoba mendorongnya dari
belakang. Samad pun keluar, dan pergi ke bagian belakang mobil. Berusaha
mendorong mobil.
Hari telah gelap, lembayung ungu telah tiada. Dan entah
mengapa lampu penerang jalan di pertigaan jalan itu mati pada malam itu. Samad
dengan sekuat tenaga mendorong mobil itu. namun tampaknya ia tak dapat. Setelah
Kasim turun dan turut mendorong mobil di pintu samping, mobil itu mulai
bergerak.
Itu adalah pertigaan tercuram di wilayah kecamatan itu. Jika
kendaraan bergerak dari arah kota, tempat Kasim dan Samad tadi berangkat, maka
kita akan menemui turunan yang membuat kendaraan manapun akan melaju lebih
cepat. Gerak turun dan gaya tarik bumi akan menyebabkannya demikian.
Dan tepat ketika kendaraan telah bergerak sepanjang tiga
langkah menurut perhitungan Kasim, Samad merasa bahwa ada sesuatu yang keras
menghantam kakinya yang sedang menjulur ke belakang untuk menopang gerak
dorongannya ke depan. Samad setelah itu tak ingat apa-apa lagi, yang terakhir
ia lihat hanyalah gelap. Dan ia tak bisa membedakan apakah gelap itu adalah
gelap malam atau karena ia memang telah berada di alam lain.
Semua orang bersyukur bahwa Samad masih hidup. Namun karena
keluarga Samad adalah keluarga yang sangat sederhana, maka ia tak berobat
secara selayaknya. Remuk di kaki kanannya karena terhantam bagian depan mobil
lain, tak pulih. dan ini menimbulkan kecacatan pada Samad. Orang yang
menabraknya itu, tak mampu bertanggung jawab, karena ia hanyalah supir bayaran
dari sebuah toko material di dekat situ. Kasim, kawannya -- yang hanya supir
angkot --, juga tak mampu menanggung pengobatannya. Ia turut bersedih, namun
tak dapat membantu banyak.
Samad berusaha tetap tegar, walaupun dalam hati ia tak kuasa
menahan kesedihan: ia kini adalah orang yang cacat. Ia kehilangan pekerjaan
sebagai buruh tani.
Istrinya -- yang memang ringan lidah -- mulai mengeluh akan
susahnya hidup, dan akhirnya memaksa Samad untuk menceraikannya. Walaupun Samad
berusaha sedapat mungkin untuk mencegah keinginan istrinya itu, akhirnya ia
mengalah juga karena kalah petah dalam berbicara.
Tinggallah Samad dengan bayang-bayang kesengsaraannya yang
mendatanginya tiap waktu. Hampa, sepi, dan sangat menyesakkan dada.
* * *
Samad telah punah harapan saat ini.
Tak lagi dibujuknya orang yang lewat di hadapan Toko Terang Jaya itu. Ia
akhirnya duduk di sini setelah pemilik kedai yang lainnya merendahkan dirinya.
Samad merasa menjadi anjing pincang yang sudah selayaknya dibuang atau
ditelantarkan di pinggir jalan. Ia tak lagi merasa menjadi manusia yang sama
dengan yang lainnya. Hati Samad bergejolak dan mengutuki orang-orang. Ia berdoa
dan kali ini tak mendoakan kebaikan.
Ia tahu bahwa neraka berlapis-lapis, dan ia berdoa semoga orang-orang yang tak
memberinya uang untuk sekadar makan hari ini ditempatkan di keraknya. “Neraka
untuk semua orang kikir dan surga firdausi untuk semua pengemis. Engkaulah
Tuhanku, Tuhan para pengemis dan semua orang yang menderita. Engkau Maha Tahu
dan Maha Adil,” demikian doanya.
Angin gunung yang dingin menghembus
dan membuat renyai rimis meliuk-liuk dan seolah-olah akan terbang kembali ke
langit. Pucuk-pucuk pohon yang melatari pasar tradisional itu terlihat
bergoyang-goyang. Hari telah senja, dan Samad tak mendapat sepeserpun.
Barangkali akan lebih baik jika ia pulang saja dan berbaring di gubuknya. Samad
menggapai tongkatnya untuk bangkit. Ia kemudian berdiri dengan bertelekan
tongkatnya. Tepat ketika ia akan mengayunkan tongkatnya untuk melangkah, sebuah
suara yang telah akrab di telinganya terdengar, “Mang Samad, jangan pergi dulu.
Ke marilah sebentar!” A Lin memanggilnya. Samad menoleh, dan A Lin terlihat
tersenyum di belakangnya.
“Ada apa, Agan?” Samad tersenyum
dengan harap-harap cemas. Apa yang akan
dia berikan hari ini? demikian pikirnya.
A Lin tersenyum ramah. Ia kemudian
dengan halus berkata, “Mang Samad, aku memohon maaf jika aku tidak banyak
memberi sebelum ini. Baru siang tadi saya menyadari bahwa ternyata selama ini
aku salah. Dan mungkin hal itulah yang kemudian berimbas ke nasib anakku. Aku
akui bahwa selama ini aku terlalu tamak dan hanya menghitung keuntungan lebih
besar yang ingin kuraih setiap hari.”
A Lin melanjutkan, “Tapi tahukah,
Amang[1],
bahwa aku juga punya alasan?”
Samad menjadi gugup, karena tidak
menyangka ia akan diajak berbicara serius. Samad menjawab, “Tidak, Amang tidak
tahu kenapa, Agan[2] ....
Memangnya sebenarnya ada apa?”
A Lin memegang kedua belah pundak
Samad, lalu dengan suara yang hampir menangis berkata, “Anakku mengalami
gangguan jiwa, Mang. Ia telah bertahun-tahun dirawat di tempat terbaik di
Jakarta sana. Namun ia tetap tidak sembuh juga. Aku hanya memberi sedikit
kepada Amang, karena aku ingin mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk biaya
pengobatan terbaik untuknya.”
Samad terdiam dan suasana
menggantung, menunggu penjelasan berikutnya. Namun diam akan membuat pernyataan
A Lin berikutnya mengalir tanpa paksaan.
“Aku baru menyadari siang tadi, Mang.
Aku menyadari bahwa selama ini aku kurang memberi pada yang kurang beruntung,
dan kupikir itulah yang membuat anakku tak kunjung sembuh.”
Samad tambah terhenyak. Ia ingin
mengucapkan kata-kata yang menguatkan hati A Lin, yang demikian rendah hati,
sehingga menceritakan semuanya kepada seorang pengemis yang tiap hari mengganggu
tokonya.
“Mang, mulai sekarang, aku akan
menanggung biaya hidupmu. Uang untuk pengobatan anakku selama ini akan
kusisihkan sedikit untukmu. Mudah-mudahan apa yang kulakukan akan meringankan
penderitaan anakku, sehingga kondisinya membaik dan tidak lagi berkepanjangan
menanggungkan penyakit.”
Samad tahu semestinya ia berteriak
girang, namun kata-kata yang diucapkan oleh A Lin telah membuatnya lumpuh
emosi.
“Bukankah Amang pandai mengaji?
Bisakah Amang membacakan ayat Quran untuk anakku sehingga ia lekas sembuh?”
Samad tercenung dan menggangguk, lalu
menjawab lirih, “Ya, Agan, nanti Amang bacakan tiap malam.”
Namun Samad teringat sesuatu dan
berkata, ”Tapi Agan, Amang tidak menjual ayat Quran.”
“Tidak, Amang, saya ingin Amang
mengajikan anak saya sebagai seorang sahabat saya. Dan saya pun menanggung
biaya hidup Amang sebagai sahabat Amang.”
A Lin mengangguk menunggu
persetujuan. Kedua pipinya basah dijatuhi linangan air mata. Tatapannya yang
lara seolah menembus hingga ke inti perasaan Samad.
Dan Samad pun mengangguk.
A Lin tersenyum dan melepas
pegangannya pada pundak Samad. “Ini sedikit makanan untuk Amang,” kata A Lin
sambil menyerahkan bungkusan. “Dan ini uang untuk Amang,” katanya sambil
memasukkan amplop pada saku baju koko Samad yang telah lusuh.
Samad ingin memeluk A Lin, namun ia
merasa dirinya terlalu kumal untuk melakukannya. Samad mengucap terima kasih,
sambil bersyukur pada Tuhan untuk segala karunia-Nya pada hari itu.
Samad berbalik dan mengayunkan
tongkatnya lalu melangkah pergi. Ketika hampir menyeberang, ia mendengar suara
A Lin memanggil namanya, ia menoleh dan A Lin berkata dengan agak keras dengan
nada yang lebih ceria, “Terima kasih telah berada di toko saya setiap hari!
Sehingga saya tahu apa yang harus saya lakukan!”
Samad melanjutkan langkahnya. Hatinya
bergumul dengan kata-kata.
Ketika tiba di seberang ia menengadah
ke langit. Ia seperti melihat Tuhan dalam senja yang perlahan-lahan datang. Dan
ia kini menyadari, bahwa ternyata gerimis adalah percikan karunia-Nya yang
agung -- yang Ia sebarkan ke seluruh jagat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar