(Sekretaris Umum Perhimpunan Jiwa Sehat)
Sebagaimana tercantum dalam Newsmail Jiwa Sehat Januari 2009
(dengan perubahan yang diperlukan)
Contoh Kasus 1
Gejala negatif skizofrenia nampaknya saling tumpang-tindih satu sama lain. Tiap-tiap gejalanya mewakili pengurangan dalam kemampuan emosional dan daya pikir yang penting bagi aktivitas sehari-hari.
Faktor Psikososial
Skizofrenia juga punya penyebab psikososial. Namun penyebab psikososial itu tak akan menjadi skizofrenia jika sebelumnya penderita tidak memiliki potensi neurologis dan genetis untuk penyakit ini.
Faktor psikososial yang dapat menyebabkan skizofrenia adalah komunikasi interpersonal dan kepribadian di masa sebelum jatuh sakit. Komunikasi dalam keluarga di masa kecil penderita yang rancu dan tanpa tautan konteks bisa menyebabkan sang anak suatu hari akan menderita skizofrenia. Berikut adalah contoh dari komunikasi itu yang saya ambil dari Atkinson, Atkinson, & Hilgard dalam Pengantar Psikologi (Erlangga, 1996):
Penderita : Berkeluh kesah. Tidak ada seorang pun yang mendengarkanku. Setiap orang berupaya mendiamkanku.
Ibu : Tidak seorang pun yang membunuhmu.
Ayah : Jika kau ingin bergaul dengan orang-orang intelek, kau harus ingat bahwa kata diam adalah kata kerja dan bukan kata benda.
Perhatikan ungkapan seorang penderita yang pada masa kecilnya mungkin mengalami kerancuan komunikasi:
I may be a "Blue Baby" but "Social Baby" not, but yet a blue baby could be in the Blue Book published before the war.
Penderita ini sakit hati yang mungkin memulai menyatakan "I was a Blue Baby" (kata Inggris blue merupakan kata kiasan untuk "sedih"). Asosiasi "blue baby" dengan "blue blood" (berdarah biru/keturunan bangsawan) dalam arti status sosial segera diinterupsi "social baby not." Frase yang terakhir menunjukkan percampuran dua makna: "yet a blue baby could be in the Blue Book published before the war" (namun anak bangsawan seharusnya tercantum namanya dalam buku-buku orang terkemuka).
Kepribadian yang rentan dan rapuh untuk terserang skizofrenia adalah kepribadian yang pendiam dan penyendiri, hanya punya sedikit kawan atau tidak sama sekali. Keribadian semacam itu akan memperhebat gejala-gejala skizofrenia jika pada suatu hari seseorang menderita penyakit ini. Masih ada suatu misteri yang tak terpecahkan mengapa para penderita gangguan pervasif yang penyendiri yaitu autisme dan sindrom asperger hanya 1% saja yang di kemudian hari menderita skizofrenia (Tony Attwood. Sindrom Asperger. Serambi. 1998).
Stressor (tekanan yang mengakibatkan stres) dari orang-orang di sekitar adalah juga faktor penting yang tak boleh dilupakan. Orang yang mengalami trauma psikis, yang semula telah memiliki kecenderungan genetis dapat menderita penyakit ini. Tapi orang yang punya kecenderungan genetis tapi tak punya faktor pemicu yang cukup juga tak akan menderita skizofrenia (Kaplan &Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry. 2000).
Stigma
Akhirnya harus diungkapkan mengenai stigma (cap buruk, label negatif) yang sangat dahsyat terhadap penderita skizofrenia. Saya, yang juga penderita skizofrenia, pernah menyaksikan sendiri sewaktu menjalani pengobatan di suatu petirahan di Cilacap, Jawa Tengah, pada tahun 2006, bagaimana 4 penderita skizofrenia dikurung dalam kandang berukuran 2X1 meter. 3 di antaranya tidak pernah dikeluarkan. Mandi, makan, minum, dan buang hajat di ruang yang sama. Pak J, sebagai pemilik tempat itu, melarang saya untuk mengajak mereka mengobrol, alasannya adalah "karena mereka ganas". Saya adalah penderita yang seringkali melawan dengan halus segala perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para penderita skizofrenia, saya tetap mengajak mereka mengobrol, dan ternyata, mereka tidaklah seperti yang digambarkan oleh pemilik petirahan tersebut. Mereka bisa menghargai orang yang mereka ajak bicara, dan dari situ saya banyak mempelajari mengenai kehidupan mereka.
Selang beberapa bulan, setelah saya keluar dari petirahan itu, saya mengikuti Focus Group Discussion yang diadakan oleh Departemen Psikiatri FKUI di Hotel Acacia, Salemba, Jakarta. Dr. Irmansyah, yang pada waktu itu masih menjabat sebagai kepala Departemen Psikiatri mempresentasikan sejumlah foto yang beberapa di antaranya ia ambil sendiri sewaktu berada di Padang. Yang paling mengejutkan saya adalah ada suatu foto yang menunjukkan bukti bahwa seorang penderita skizofrenia selama ini hidup di dalam kotak kayu yang amat sempit, tanpa kesempatan untuk menghirup udara bebas. Ternyata pengandangan dan pemasungan belum ada apa-apanya! Masih ada yang lebih dahsyat, yaitu pengurungan dalam kotak kayu!
Adalah suatu hal yang biasa dalam masyarakat kita menganggap penderita skizofrenia sebagai bodoh, menyebalkan, dan berbahaya. UU Kesehatan negara kita (UU No. 23 Tahun 1992) setidaknya memiliki satu pasal yang diskriminatif. Perhatikan bunyi Pasal 26 berikut ini (kata yang penting diberi huruf kursif):
(1) "Penderita gangguan jiwa yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum wajib diobati dan dirawat di sarana pelayanan kesehatan jiwa atau sarana pelayanan kesehatan lainnya."
(2) "Pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa dapat dilakukan atas permintaan suami atau istri atau wali atau anggota keluarga penderita atau prakarsa pejabat yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di wilayah setempat atau hakim pengadilan bilamana suatu perkara timbul persangkaan bahwa yang bersangkutan adalah penderita gangguan jiwa."
Seharusnya hak azasi manusia para penderita gangguan jiwa dilindungi dan diupayakan pencegahan terhadap pelanggaran hak-hak mereka. Selain itu di negara kita belum ada edukasi kepada publik yang membela hak-hak azasi terhadap penderita gangguan jiwa. Sehingga masyarakat masih saja salah memahami mengenai gangguan jiwa khususnya skizofrenia. Pelaku pelanggaran seperti pemasungan dan hal lain yang semacamnya, juga diskriminasi dalam pendidikan dan pekerjaan masih belum ada hukumannya. Sehingga berpotensi untuk berlanjut terus dan menimbulkan lingkaran penderitaan yang tak kunjung selesai bagi orang yang mengalaminya. Beruntunglah, DPR yang lalu telah mempunyai RUU Kesehatan yang baru yang lebih manusiawi dan bahkan dalam UU Kesehatan itu dicantumkan bahwa layanan kesehatan jiwa harus tersedia di berbagai Puskesmas, sehingga lebih dapat menjangkau masyarakat luas.
Lantas Apa yang Harus Kita Lakukan?
Jika Anda atau keluarga Anda ingin menjalani pengobatan, pilihlah obat yang efektif untuk penderita. Ingat, obat yang efektif tidak berarti harus mahal (efektif atau tidak efektif adalah pertimbangan pertama, sedangkan mahal atau tidak adalah pertimbangan kedua). Jika penderita dapat diobati dengan obat generasi pertama (misalnya Haloperidol) dan menunjukkan perbaikan yang signifikan tanpa mengalami efek samping yang berlebihan dan Anda tidak mampu untuk membeli obat yang lebih mahal, mengapa tidak tetap memakai obat itu? Obat atipikal memang menarik dengan "tawarannya" karena memiliki keefektifan dan efek samping yang lebih kecil. Tapi jika semuanya sudah berjalan dengan baik, mengapa tidak dijalani terus?
Jika obat generasi pertama sudah tidak cocok dengan penderita (karena alasan efektivitasnya dan efek sampingnya) maka gunakanlah obat atipikal. Jika Anda tidak mampu untuk membeli obat atipikal, buatlah surat Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Mengenai prosedurnya tanyakanlah kepada Puskesmas setempat. Berbagai rumah sakit di kabupaten dapat memberi Risperidone (dengan berbagai mereknya seperti Zofredal, Neripros, Persidal, Noprenia, dsb) selama sebulan atau dua minggu dalam sekali kunjungan dengan surat itu.
Bagi Anda yang mampu, masa kini adalah anugerah tersendiri, karena ada berbagai pilihan obat generasi kedua bermerek yang efektivitasnya tentu tidak disangsikan lagi, dengan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan obat generasi pertama. Ada Risperdal (Risperidone), Lodopin (Zotepine), Seroquel (Quetiapine), Zyprexa (Olanzapine), dan Abilify (Aripriprazole). Bahkan Quetiapine akan ditambahkan teknologi baru dan akan dirilis dengan merek dagang Seroquel XR.
Bagi para penderita yang kebal terhadap antipsikotik biasa (intolerant to classical neuroleptics) tersedia Clozapine dengan berbagai mereknya seperti Clozaril, Luften dan Sizoril. Jika penderita masih juga tidak menunjukkan perkembangan yang berarti dengan obat maka dianjurkan untuk menjalani ECT (Electro Convulsive Therapy) atau terapi kejut listrik, yaitu pengaliran listrik yang lemah kepada otak.
Dukunglah pengobatan penderita secara psikologis. Jangan melampiaskan Ekspresi Emosi (EE) tinggi kepada penderita (marah-marah, menyindir, membanding-bandingkan, dll) karena hal itu dapat menimbulkan kekambuhan. Hasil penelitian American Psychiatric Association (APA) tahun 1994 menunjukkan bahwa kontak dengan orang dengan EE yang tinggi, tanpa obat, menimbulkan kekambuhan hingga 92%; dan kontak yang tinggi, dengan obat, menimbulkan kekambuhan hingga 53%. Jadi, jika ada sesuatu masalah dengan penderita, bicarakanlah dengan emosi yang tidak meluap-luap.
Tidak ada hal lain yang lebih berharga pada saat ini selain memberikan edukasi yang benar kepada keluarga dan lingkungan penderita skizofrenia agar mereka tahu bahwa skizofrenia adalah suatu penyakit dan bukan suatu kutukan yang seakan-akan membuat penderita adalah makhluk jahat yang harus dipasung atau didiskriminasi.
Akhirnya, kita harus membuat media yang informasi skizofrenia yang lebih banyak dan lebih luas dan dalam jangkauannya. Harus ada kampanye besar dan tanpa henti. Jika kita dapat memerangi stigma terhadap penderita HIV/AIDS, mengapa kita tidak dapat melakukannya terhadap skizofrenia? Jika kita tidak melakukannya sekarang, lalu kapan lagi? Jika bukan kita yang melakukannya, lantas siapa? Saya yakin, kerjasama yang kuat di antara semua elemen masyarakat akan membuat perubahan besar terhadap isu skizofrenia di negara ini. Hal kecil yang Anda lakukan untuk skizofrenia, misalnya dengan menggunakan kata skizofrenia dan bukan kata lain yang menyakitkan penderita, adalah langkah awal untuk menuju ke sana. A little footstep is a beginning of a big journey.
Jika Anda punya komentar apapun mengenai Blog Skizofrenia ini dipersilakan untuk mengirimkan e-mail ke jiwasehat@gmail.com. Segala saran dan kritik yang Anda kirimkan akan sangat berharga.
7 komentar:
dimana ya bisa konsultasi untuk skizofrenia?
bisa kirim email ke saya vladivostokmoscow@gmail.com
adakah obat-obat bebas yang dapat diberikan pada para penderita skizofrenia ?
salam kenal mas anta, saat ini saya sedang tetarik untuk mempelajari tentang scizofrenia, dan saya mencoba menulis sebuah cerita fiksi tentang penyakit tersebut, jika mas anta berkenan untuk membantu saya saya, saya akan mengirimkan coretan saya tersebut ke emailnya mas anta, saya jga sdah add fb nya mas anta...
ini gmail saya: afrigoadrikas@gmail.com
terima kasih sebelumnya, saya tunggu kbar dari mas anta :)
permisi pak ibu saya juga menderita skizofrenia, hampir tiap hari beliau uring2ngan sendiri saya lihat pengen nangis. kalo menurut bapak apakah seharusnya ibu saya dibawa ke rs atau diberi obat saja? soalnya saya ngak ingin ibu terluka hatinya krn saya bawa kers dan ibu mengira saya berfikiran kalo ibu gila. dan apakah ada obat yang rasanya hambar soalnya saudara2 dr ibu saya juga sudah berusaha memberikan obat tp selalu saja dibuang krn merasa beliau diperlakukan seperti beliau pnya penyakit gila. bagaimna pendapat bapak?
Assalamu'alaikum... salam kenal dan ucapan terima kasih atas tambahan info dan pengetahuan yang diberikan... sangat membantu dan dpt membukakan mata kita... wassalam wrwb.
Mnurut saya ditinjau dulu lebih lanjut apa ibunya mbak benar mengidap skizofrenia atau eggk. jika positif, Nah setelah itu coba lakukan pendekatan" ringan, bujuk perlahan, coba memberikan edukasi bhwa ke rs bkan berarti si penderita menjadi gila, beri suport, obat"an yg sesuai anjurn dokter, serta setau saya penderita Skizofrenia memang sangat diperlukan untuk penangan dn kontrol pihak medis karena penderita bisa saja mendadak kambuh, sangat penting bagi penderita dan keluarga dapat menerima kondisi dari si penderita, Karena pada fase ini sering terjadi penolakan dan pergulatan dari masyarakat/keluarga itu sendiri dan dalam fase ini pula peran keluarga sangat diperlukan bagi perkembangan tingkat lanjut penderita.
uraian diatas sangat membantu.. saya punya pengalaman .adik saya terkena skizofrenia..
alhamdullilah dengan adanya bpjs.sangat membantu.. adik saya terkena penyakit ini sejak usia 16 tahun 2 sma samoai sekarang usia 38 tahun.. mulai di urus sama ibu.. kemudian ayah setelah mereka meninggal saya yang mengurusnya..
benar apa yag di katakan. kita harus sabar.. yang merawat.. terutama obatvyangvdi berikan tetap di awasi.. berikan dia kamar yang punya akses sendiri.. bbelajar mandiri.. minimal mandi dan cuci baju..
tapi kemungkinan untuk sembuh saya.sangat pesimis.. meakipun ada kemajuan bisa pergi ke rumah sakit kesaaehatan dan jiwa tiap bulanya..
tapibtetap awasi..
ya itu seperti daam artikel buat orang orang yang mampu bisa di.beri obat yang lebih bagus dari rispedirone... dan di arahkan untuk membuat usaha sensdiri dengan bimbingan..
saya titip pesan untuk yang mengurusnya harus sabar dan jadi amal baik ..
mungkin yangvpunya blog.punya wadah..buat orang tua akan penyakit skinzo ini..
wassalamualaiku..
Posting Komentar