Aku menyukai tengah malam yang senyap. Malam saat suara-suara lenyap dan jarak antara langit dan bumi seperti dekat. Rasa akan Tuhan berpendar pada saat-saat itu. Pada tengah malam seperti itu aku dapat berpikir dengan jernih, tanpa gangguan halusinasi.
Selama bertahun-tahun aku sengaja “memaksa” agar aku tidur lekas-lekas dan bangun tengah malam dengan cara meminum obat yang memiliki efek sedasi pada sore hari. Seringkali aku salat tahajud dan berdoa agar Tuhan segera menganugerahkan rahmatnya, setelah “bencana” skizofrenia yang aku alami. Berulangkali aku berpikir akan perjalanan hidupku yang mengenaskan. Aku mencoba mencari sisi positif dari petaka skizofrenia yang aku alami.
Pada malam-malam itu pula aku banyak membuat rencana untuk masa depanku. Satu di antaranya sudah terwujud, yaitu psikomemoar Gelombang Lautan Jiwa yang kini diterbitkan oleh Jejak Kata Kita, Yogyakarta. Tiga cita-citaku yang lain, ingin membuat Adikamus Sunda-Indonesia dan Adikamus Indonesia, serta sebuah novel tentang skizofrenia Perjalanan di Kota Kemenangan nampaknya masih jauh dari pencapaian final. Perlu tenaga dan waktu yang luar biasa banyak untuk mewujudkannya jadi nyata.
Namun apapun itu, aku berpendapat, bahwa mungkin skizofrenia adalah salah satu katalisator yang mempercepat penemuan filosofi baru yang nyaris tak pernah kujamah sebelum aku mengalami skizofrenia, bahwa derita adalah bagian dari proses pendewasaan diri, dengan kata lain, dengan mengalami skizofrenia aku menyadari bahwa sudah selayaknya kita berpindah dari bingkai pemikiran negatif ke bingkai pemikiran positif.
Aku kini kehilangan waktu tengah malamku karena antipsikotikku yang baru menyebabkan aku tidur panjang hingga pagi hari. Namun aku yakin, suatu waktu, akan kusadari bahwa ternyata tidur dan bangun selayaknya orang biasa adalah juga keindahan yang tiada terperi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar