recent posts



Jika Anda ingin men-download trailer ini (tanpa tambahan apapun di browser Anda) silakan klik di sini.

Jumat, 30 September 2011

Dukungan untuk UU Kesehatan Jiwa (Petisi Online)


WHO (1990) melaporkan dari 10 masalah kesehatan utama yang menyebabkan disabilitas, 5 diantaranya adalah masalah kesehatan jiwa yaitu; depresi (1), alkoholisme (4), ganguan bipolar (6), skizofrenia (9) dan obsesif kompulsif (10). Selain itu WHO memprediksikan pada tahun 2020 mendatang depresi akan menjadi penyakit urutan kedua dalam menimbulkan beban kesehatan. Besarnya masalah kesehatan mental di Indonesia tidak jauh berbeda. Prof. Askobat Gani (2005) menghitung bahwa beban penyakit gangguan jiwa mencapai 13.8% dari seluruh beban penyakit di Indonesia.


Jumlah individu yang mengalami gangguan jiwa sangat besar. Diperkirakan 30% penduduk mengalami berbagai bentuk masalah gangguan jiwa semasa kehidupannya, 10% diantaranya mengalami gangguan jiwa berat. Dengan populasi yang mencapai angka 238 juta jiwa, maka terdapat 66 juta penduduk Indonesia pernah mengalami gangguan jiwa. Jumlah orang yang terkena dampak meningkat sangat bermakna bila menghitung minimal 8 orang anggota keluarga dari penderita ikut terkena dampak dari gangguannya. Jelas gangguan jiwa di Indonesia berdampak pada lebih dari separuh penduduk. Dan keadaan seperti ini tidak dapat dibiarkan terus menerus.


Berbagai negara telah memberlakukan Undang-undang Kesehatan Jiwa, diantaranya UU Kesehatan Jiwa Korea, UU Publik Italia (1978), UU Kesehatan Mental di Inggris dan Wales (1983), UU Perawatan Psikiatri Federasi Rusia (1992), UU Kesehatan Jiwa Belarusia (1999), UU Kesehatan Jiwa Jepang (1950), UU Kesehatan Jiwa Austria, UU Kesehatan Jiwa Argentina (1991), UU Kesehatan Jiwa Pakistan (2001), UU Kesehatan Jiwa Tunisia (1992), RUU Kesehatan Jiwa Cina (berlangsung lebih dari 16 tahun). Juga Sri Lanka yang membuat The Mental Health Policy of Sri Lanka (2005-2015) sebagai respon dari pasca tsunami 2004 (padahal dampak tsunami 2004 lebih berat dirasakan di Indonesia). Bahkan Ghana juga sedang berproses memformulasikan UU Kesehatan Jiwa untuk menanggulangi stigma sebagai penghambat utama pelayanan Kesehatan Jiwa.


Sebenarnya Republik Indonesia juga pernah mempunyai UU Kesehatan Jiwa Nomor 3 Tahun 1966. Disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Juni 1966 oleh Presiden Republik Indonesia, Sukarno, dan Sekretaris Negara, Mohd. Ichsan. Namun “terlipatnya” masalah Kesehatan Jiwa yang sesungguhnya begitu universal (tidak mempan dan tidak cukup hanya dengan pendekatan medis) dan meminta pertanggungjawaban lintas kementerian dan lembaga, ke dalam Undang-undang Kesehatan, merupakan sebuah deteriorasi atau kemunduran.


Untuk itu, kami yang bertanda tangan di bawah ini, mendukung Rancangan Undang Undang Kesehatan Jiwa agar menjadi prioritas RUU 2012 dan disahkan oleh DPR RI yang mengharuskan pemerintah dan masyarakat untuk memperhatikan dan menangani masalah kesehatan jiwa ini dengan sungguh-sungguh. RUU ini juga diperlukan untuk melindungi ODMK (Orang Dengan Masalah Kejiwaan), menjamin hak-hak mereka serta membantu mereka mencapai tahap pemulihan sehingga bisa berkontribusi positif dalam kehidupan bermasyarakat.


Hormat kami,


Segenap Warga Indonesia


Tanda tangani petisi online sekarang

Kamis, 22 September 2011

Organisasi Konsumen Kesehatan Jiwa di Daerah

Saya berkunjung ke Komunitas Sehat Jiwa, Cianjur, pada tanggal 10-12 September 2011 yang lalu. Dan yang perlu saya sampaikan adalah penghargaan dan kekaguman saya yang setinggi-tingginya pada kerja keras mereka yang berupaya keras mewujudkan masyarakat yang sehat jiwa. Di tengah tidak adanya dana operasional, dan bahkan untuk hanya sekadar makan siang, para aktivis kesehatan jiwa di sana berkeliling mengunjungi orang-orang dengan masalah kejiwaan dan menyalurkan obat, yang merupakan hal yang vital bagi pemulihan mereka. Tak lupa, dalam setiap kunjungannya, para aktivis itu, berbicara dari hati ke hati, bahwa kesembuhan adalah hal yang sangat mungkin; dan bahwa mengalami gangguan jiwa bukan berarti hidup telah berakhir. Feri, kawan Pak Nurhamid, dengan motornya seringkali harus menempuh perjalanan 110 km untuk menunaikan tugasnya itu. Sehingga bolak-balik ia menempuh perjalanan 220 km dalam sehari!

Tak ada sama sekali keluhan keluar dari wajah Pak Nurhamid dan kawannya itu, walaupun mereka minimal harus menembus sukarnya perjalanan, minimal mereka mennunaikan tugasnya 5 hari dalam seminggu, dan tiap harinya harus pulang menjelang tengah malam. Kiranya pujian saja tidak cukup untuk menghargai jasa mereka, kita doakan semoga mereka diganjar surga karena mereka telah berusaha membuat Taman Surgawi bagi para orang dengan masalah kejiwaan di Cianjur. Amin.

Jakarta Biennale dan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia

 

Pulang (Haryati Chaerudin)

Tahun ini, event Hari Kesehatan Jiwa Sedunia agak berbeda dari biasanya, karena Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dengan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), sebagai dua organisasi konsumen terdepan yang memperjuangkan orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) menjalin kerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Adapun event yang diusung adalah Apresiasi Seni Rupa Orang dengan Masalah Kejiwaan; dengan 3 (tiga) kegiatan utama yang dipusatkan pada Hari Minggu, 16 Oktober 2011 di Taman Ismail Marzuki (TIM).

Kegiatan pertama adalah melukis bersama di kanvas sepanjang 150 meter di Plaza Teater Kecil TIM, yang akan diikuti oleh ODMK dari berbagai institusi, termasuk perwakilan dari berbagai rumah sakit, Yayasan Autisme Indonesia, dan ODMK dari berbagai panti di seputaran Jakarta. Kegiatan kedua yaitu pameran hasil workshop melukis oleh ODMK anggota PJS dan KPSI (workshopnya telah berlangsung sejak bulan Juni 2011). Pameran lukisan akan berlangsung sejak tanggal 16 hingga tanggal 28 Oktober. Juga tidak menutup kemungkinan juga akan mengikutsertakan lukisan-lukisan yang telah dibuat oleh ODMK yang mengikuti Program Rehabilitasi Mental di RS Soeharto Heerdjan, Grogol, Jakarta.

Kegiatan ketiga adalah diskusi seni, yang terbagi menjadi dua:
1. Diskusi “Seni dan Gangguan Kejiwaan (Art and Madness)” dengan pembicara Nova Riyanti Yusuf dan Paul Agusta.
2. Diskusi “Kota dan Gangguan Kejiwaan” dengan para pembicara Marco Kusumawijaya dan dr. Hervita diatri, SpKJ(K).

Oh, ya. Jakarta Biennale tahun ini mengambil tema “Jakarta Maximum City: Escape or Survive?.”

Jika Anda membutuhkan informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi anta_samsara@yahoo.co.id (PJS) atau info@kpsi.org (KPSI).